Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2022 menurut Badan Pusat Statistik mencapai 149.707.859 unit, naik sekitar 10% dari tahun sebelumnya. Dalam periode 2015-2022 peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup signifikan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahun 6,13%.[1]
Banyaknya kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab maraknya kemacetan di Indonesia. Data dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa rata-rata sekitar 13 juta penduduk beraktivitas keluar masuk Jakarta tiap harinya. Sedangkan, pertumbuhan panjang jalan di Jakarta ini kurang lebih hanya 0,01% per tahun disaat pertumbuhan jumlah kendaraan kurang lebih 3% per tahun.[2]
Jumlah tersebut didukung dengan data dari BPS yang menyebutkan bahwa 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 2020 dan akan terus meningkat menjadi 66,6% di tahun 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045.
Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air.[3] Dengan terus berkembangnya populasi, khususnya penduduk yang tinggal di perkotaan, maka angka kemacetan juga berpotensi meningkat. Perkembangan teknologi yang masif ini sudah seharusnya bisa dilibatkan dalam penyelesaian permasalahan ini. Beberapa negara telah menerapkan Internet of Things (IoT) dalam mengurai kemacetan.
Lampu Lalu Lintas Adaptif
Kerap kali kemacetan terjadi di sebuah persimpangan sehingga diperlukan lampu lalu lintas untuk mengatur kelancaran lalu lintas. Namun, dengan semakin berkembangnya jumlah kendaraan bermotor, lampu lalu lintas konvensional tidak begitu efektif dalam mengurai kemacetan. Pemanfaatan teknologi dengan membuat lampu lalu lintas yang adaptif sudah terbukti berhasil mengatur lalu lintas lebih efektif di sejumlah negara.
Lampu lalu lintas adaptif dengan Sitraffic MOTION milik Jerman, berhasil memangkas waktu perjalanan bus hingga 27 persen dan rata-rata kecepatan kendaraan pribadi dapat naik hingga 6 persen. Sitraffic MOTION memungkinkan lampu lalu lintas yang adaptif dengan memperbarui sistem lampu lalu lintas setiap 10 sampai 20 menit. Contoh penerapannya seperti di distrik Valby di Kopenhagen yang mana sistem transportasi perkotaan umum, yang mencakup empat jalur bus, harus dibuat 20 persen lebih cepat tanpa memperlambat arus kendaraan pribadi.[4]
Di sisi lain, Inggris, menggunakan sistem yang lain bernama SCOOT untuk mengatur lampu lalu lintasnya secara adaptif. Sistem ini berhasil mengurangi penundaan sebesar 13 persen dengan sistem yang mengotomasi pengaturan waktu lampu lalu lintas atau memberikan prioritas bus saat dibutuhkan untuk mengatasi kemacetan. Pemerintah Inggris juga mulai mengimplementasikan sistem ini untuk diprioritaskan kepada pejalan kaki.
Selain fungsi lampu lalu lintas adaptif pejalan kaki ini bertujuan untuk memangkas waktu pejalan kaki, sistem ini juga untuk meningkatkan keamanan pejalan kaki karena lama nya lampu lalu lintas untuk pejalan kaki kerap kali menyebabkan pejalan kaki melanggar aturan. Uji coba dilakukan di beberapa titik di London dan selama sembilan bulan hasilnya pejalan kaki menghemat rata-rata 1,3 jam sehari dan peningkatan 13% pejalan kaki yang mematuhi lampu lalu lintas.[5]