Program E-Farming Bank Indonesia di tengah Gencarnya Startup Agritech
Pembatasan pergerakan saat pandemi COVID-19 membuat masyarakat semakin terbiasa untuk berbelanja secara daring menggunakan platform perdagangan elektronik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bank Indonesia, transaksi perdagangan elektronik pada tahun 2021 mencapai Rp401 triliun dan diperkirakan naik 31% menjadi Rp 526 triliun pada tahun 2022.[1] Postur pertumbuhan ekonomi ini turut mempengaruhi jumlah UMKM yang terdaftar dan bertransaksi pada e-commerce.
Hingga saat ini, Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mencatat ada sekitar 19 juta UMKM yang terdaftar sebagai pelaku perdagangan elektronik. Fenomena ini menunjukkan semakin dekatnya target pemerintah yang mengharapkan terdapat 30 juta UMKM beralih ke platform digital pada tahun 2024.[2] Peluang besar ini mendorong Bank Indonesia untuk mengembangkan program akselerasi digitalisasi UMKM.[3] Salah satu program dalam digitalisasi UMKM Bank Indonesia adalah e-Farming, yaitu pemanfaatan teknologi digital pada pertanian guna meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi biaya (hulu) dan perluasan pasar (hilir).
Selain itu, program e-Farming juga dimaksudkan sebagai bentuk inovasi untuk mendukung agroindustri yang berkelanjutan. Program ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pangan dengan mengedepankan penggunaan mekanisasi pertanian dalam sistem budidaya, panen, maupun pasca panen, sehingga hasil produksi lebih optimal dan efisien.[4]
Agar program e-farming berjalan lebih optimal, maka Bank Indonesia dapat berkolaborasi dan bersinergi dengan berbagai startup agritech yang telah terdapat di Indonesia, seperti TaniHub, Sayurbox, Kedai Sayur, iGrow, Habibi Garden, Etanee, dan lain-lain.
Startup agritech umumnya terbagi menjadi empat sektor kategori, yaitu kategori pembiayaan, kategori e-commerce, kategori pendidikan dan bimbingan, serta kategori perkembangan teknologi. Hingga saat ini, kontribusi yang dihasilkan mampu merevolusi sektor pertanian secara signifikan, terutama perihal penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, kualitas, profitabilitas, dan aspek berkelanjutan yang tidak kalah penting.[5]
Perkembangan startup agritech didukung penuh oleh Kementerian Pertanian. Berdasarkan laporan Indonesia Agritech Report 2020 dari lembaga riset Compass List, terdapat beragam problematika dalam sektor pertanian di negeri ini, seperti keberadaan petani yang rentan karena rantai pasokan tidak efisien, akses terbatas ke pembiayaan yang adil, ketertinggalan di bidang pendidikan dan kurangnya bimbingan, serta kurangnya teknologi baru.
Untuk mengatasi problematika tersebut, Kementerian Pertanian menargetkan persentase implementasi inovasi dan teknologi pertanian sebesar 70% pada tahun 2021 dan 2022, serta 75% pada tahun 2023 dan 2024. Dengan demikian, peran startup agritech cukup strategis mengingat ketahanan pangan bukan lagi harga yang bisa ditawar, dan diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian.[6]