Pemerintah saat ini mulai mengandalkan data untuk memberikan layanan warga yang lebih baik, mengelola pembuatan kebijakan, dan mengelola kolaborasi antar lembaga. Namun, data digital juga artinya membuka celah dalam keamanan siber yang mengancam sistem yang berpusat pada data.
Pandemi Covid-19 telah meningkatkan kerentanan tersebut. Tahun 2020, jumlah keseluruhan pelanggaran data naik lebih dari 68 persen dari tahun sebelumnya dan 23 persen lebih tinggi dari rekor tertinggi sepanjang masa pada 2017, menurut laporan oleh Identity Theft Resource Center tahun 2022.[1] Insiden semacam itu mengurangi kepercayaan diri untuk merangkul pergeseran menuju digitalisasi di pemerintahan dan di antara individu.
Kerentanan Cybercrime di Indonesia
Menurut survei yang diadakan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (Dittipidsiber), terdapat 90 juta kasus serangan siber di Indonesia, dan menurut Financial Services Information Sharing and Analysis Center (FS-ISAC), Indonesia termasuk dalam daftar negara yang rentan terhadap serangan kejahatan di dunia maya. Indonesia sendiri menduduki posisi ke-9.
Pandemi Covid-19 menjadi topik utama dalam tren keamanan siber. Para peretas memanfaatkan keresahan masyarakat sebagai celah dalam meluncurkan berbagai serangan, seperti kasus kebocoran data 91 juta pengguna situs belanja online Tokopedia dan kebocoran data 1,2 juta pengguna situs Bhinneka.
Masa pandemi juga menjadi sasaran empuk hacker yang terus mencoba menyerobot masuk ke keamanan sistem di perusahaan, karena tingginya penggunaan internet di mana hampir semua orang bekerja dari rumah. Dikutip dari BSSN, serangan paling banyak diterima di bulan Maret 2020, hingga mencapai 22 serangan siber yang menggunakan latar belakang isu pandemi COVID-19.