Karena prevalensi korupsi dalam tata kelola pemerintahan negara ini berada dalam status yang benar-benar memprihatinkan, perlu ada solusi yang bersifat reformasi institusional. Secara partikular, Inkorporasi blockchain ke dalam institusi pengadaan barang dan jasa (PBJ) mampu melahirkan disinsentif terhadap tindakan koruptif berupa penyalahgunaan anggaran negara.
Pada tahun 2010 silam, pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 54 tentang kontrak pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang di dalamnya mengatur sistem pengadaan elektronik (e-procurement). Melalui e-procurement, setiap lembaga pemerintahan wajib mengunggah secara digital setiap data pengadaan yang sudah dilakukan.[1]Kendatipun e-procurement sudah diterapkan, korupsi dalam PBJ masih marak dilakukan. KPK mencatat bahwa 90% kasus yang ditangani mereka menyangkut PBJ.[2]
Berangkat dari permasalahan ini, penerapan teknologi blockchain dalam sistem e-procurement mampu mencegah para calon koruptor untuk menjalankan niat buruknya. Blockchain memungkinkan setiap transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara dilakukan secara transparan dan menutup peluang bagi oknum untuk melakukan manipulasi dan modifikasi data. Bagian berikutnya dari tulisan ini akan membahas secara lebih mendalam bagaimana blockchain mampu melayani kedua fungsi tersebut.
Blockchain sebagai Disinsentif terhadap Tindak Korupsi
Blockchain dapat didefinisikan sebagai teknologi yang memungkinkan data untuk direkam, disimpan, dan diakses tanpa harus difasilitasi oleh otoritas terpusat. Sederhananya, database yang semula berada di satu pihak saja, dengan menggunakan blockchain, dapat didistribusikan ke banyak pihak dalam bentuk blok-blok yang berurutan.[3]
Apabila diterapkan sebagai penunjang e-procurement, blockchain mampu membuka akses bagi publik untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas proses PBJ. Tanpa harus mendapatkan persetujuan otoritas terpusat, setiap partisipan blockchain akan memiliki setiap catatan transaksi beserta detail-detailnya.[4] Penambahan data ke dalam blockchain hanya dapat dilakukan apabila sudah divalidasi kebenarannya oleh seluruh partisipan.
Oleh karena itu, setiap data transaksi dapat langsung dilihat oleh seluruh partisipan, sehingga mampu menjamin transparansi jaringan blockchain. Tindakan-tindakan koruptif sekecil apapun akan dapat langsung dideteksi oleh publik selaku partisipan blockchain berkat adanya transparansi ini.
Selain membuka pengawasan proses PBJ bagi publik, blockchain juga menutup potensi tindak manipulasi data yang merupakan salah satu indikasi dari keberadaan korupsi. Struktur blockchain memiliki fitur kekekalan (immutability) sehingga seluruh data yang sudah dicatat tidak akan bisa diubah lagi.[5]
Seperti halnya fungsi transparansi, fungsi anti-manipulasi ini juga merupakan manfaat turunan dari fitur desentralisasi blockchain yang berarti setiap partisipan bertanggung jawab atas otentisitas data. Data-data yang tersimpan di blockchain akan melalui proses hashing yakni proses kompilasi dan penyederhanaan data-data ke dalam suatu nilai yang lebih pendek yang disebut hash. Setiap data yang terasosiasikan dengan jaringan blockchain memiliki nilai yang unik.
Bagaimanapun, seluruh hash tersebut tidak disimpan dalam susunan yang bersambung. Seluruh hash disusun di blok-blok yang susunannya berbentuk seperti pohon yang disebut sebagai merkle tree. Dampaknya, perubahan satu data akan menuntut oknum untuk mengubah seluruh hash yang ada di dalam merkle tree. Kemudian, ketika oknum korup berhasil mengubah satu merkle tree, maka dia juga harus mengubah seluruh blok-blok yang ada sebelumnya.
Tindakan pengubahan ini tentu akan sangat sulit dilakukan dan memakan waktu yang sangat lama, tindakan manipulatif ini pun pasti akan terdeteksi terlebih dahulu sebelum sang oknum berhasil mengubah blok yang lain. Oleh karena itu, teknologi blockchain mampu menjamin kekekalan data dan memastikan tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah data yang sudah masuk ke dalamnya.[6]