Teknologi | Blockchain

Blockchain: Senjata Ampuh dalam Memberantas Korupsi

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 4 Agu 2022. 4 min.

Karena prevalensi korupsi dalam tata kelola pemerintahan negara ini berada dalam status yang benar-benar  memprihatinkan, perlu ada solusi yang bersifat reformasi institusional. Secara partikular, Inkorporasi blockchain ke dalam institusi pengadaan barang dan jasa (PBJ) mampu melahirkan disinsentif terhadap tindakan koruptif berupa penyalahgunaan anggaran negara.

Pada tahun 2010 silam, pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 54 tentang kontrak pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang di dalamnya mengatur sistem pengadaan elektronik (e-procurement). Melalui e-procurement,  setiap lembaga pemerintahan wajib mengunggah secara digital setiap data pengadaan yang sudah dilakukan.[1]Kendatipun e-procurement sudah diterapkan, korupsi dalam PBJ masih marak dilakukan. KPK mencatat bahwa 90% kasus yang ditangani mereka menyangkut PBJ.[2]

Berangkat dari permasalahan ini, penerapan teknologi blockchain dalam sistem e-procurement  mampu mencegah para calon koruptor untuk menjalankan niat buruknya. Blockchain memungkinkan setiap transaksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara dilakukan secara transparan dan menutup peluang bagi oknum untuk melakukan manipulasi dan modifikasi data. Bagian berikutnya dari tulisan ini akan membahas secara lebih mendalam bagaimana blockchain mampu melayani kedua fungsi tersebut.

Blockchain sebagai Disinsentif terhadap Tindak Korupsi

Blockchain dapat didefinisikan sebagai teknologi yang memungkinkan data untuk direkam, disimpan, dan diakses tanpa harus difasilitasi oleh otoritas terpusat. Sederhananya, database yang semula berada di satu pihak saja, dengan menggunakan blockchain, dapat didistribusikan ke banyak pihak dalam bentuk blok-blok yang berurutan.[3]

Apabila diterapkan sebagai penunjang e-procurement, blockchain mampu membuka akses bagi publik untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas proses PBJ. Tanpa harus mendapatkan persetujuan otoritas terpusat, setiap partisipan blockchain akan memiliki setiap catatan transaksi beserta detail-detailnya.[4] Penambahan data ke dalam blockchain hanya dapat dilakukan apabila sudah divalidasi kebenarannya oleh seluruh partisipan.

Oleh karena itu, setiap data transaksi dapat langsung dilihat oleh seluruh partisipan, sehingga mampu menjamin transparansi jaringan blockchain. Tindakan-tindakan koruptif sekecil apapun akan dapat langsung dideteksi oleh publik selaku partisipan blockchain berkat adanya transparansi ini. 

Selain membuka pengawasan proses PBJ bagi publik, blockchain juga menutup potensi tindak manipulasi data yang merupakan salah satu indikasi dari keberadaan korupsi. Struktur blockchain memiliki fitur kekekalan (immutability) sehingga seluruh data yang sudah dicatat tidak akan bisa diubah lagi.[5]

Seperti halnya fungsi transparansi, fungsi anti-manipulasi ini juga merupakan manfaat turunan dari fitur desentralisasi blockchain yang berarti setiap partisipan bertanggung jawab atas otentisitas data. Data-data yang tersimpan di blockchain akan melalui proses hashing yakni proses kompilasi dan penyederhanaan data-data ke dalam suatu nilai yang lebih pendek yang disebut hash. Setiap data yang terasosiasikan dengan jaringan blockchain memiliki nilai yang unik.

Bagaimanapun, seluruh hash tersebut tidak disimpan dalam susunan yang bersambung. Seluruh hash disusun di blok-blok yang susunannya berbentuk seperti pohon yang disebut sebagai merkle tree. Dampaknya, perubahan satu data akan menuntut oknum untuk mengubah seluruh hash yang ada di dalam merkle tree. Kemudian, ketika oknum korup berhasil mengubah satu merkle tree, maka dia juga harus mengubah seluruh blok-blok yang ada sebelumnya.

Tindakan pengubahan ini tentu akan sangat sulit dilakukan dan memakan waktu yang sangat lama, tindakan manipulatif ini pun pasti akan terdeteksi terlebih dahulu sebelum sang oknum berhasil mengubah blok yang lain. Oleh karena itu, teknologi blockchain mampu menjamin kekekalan data dan memastikan tidak ada satu pihak pun yang mampu mengubah data yang sudah masuk ke dalamnya.[6]

Blockchain membuka akses bagi publik untuk melakukan pengawasan dan evaluasi atas proses Pengadaan Barang dan Jasa karena tanpa harus mendapatkan persetujuan otoritas terpusat, setiap partisipan blockchain akan memiliki setiap catatan transaksi sehingga tindakan koruptif sekecil apapun dapat dideteksi oleh publik selaku partisipan blockchain.

Alur Kerja dan Persiapan Penerapan Blockchain sebagai Teknologi Anti-Korupsi di Indonesia

Secara garis besar, penerapan Blockchain sebagai penunjang pemberantasan korupsi di Indonesia dapat mengikuti alur kerja sebagai berikut. Blockchain akan memberikan aspek interoperabilitas bagi data-data lembaga pemerintahan yang kerap berada dalam sistem yang silo.

Oleh karena itu, pertama, data-data rencana pengadaan akan diunggah ke dalam blockchain oleh lembaga pemerintahan yang sedang mengadakan pengadaan dan menjadikan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan sebagai partisipan blockchain. Kemudian, di blok-blok berikutnya, dengan pemangku kepentingan yang sama seperti di prosedur sebelumnya, lembaga pemerintah terkait akan mengunggah data-data anggaran dan undangan tender.

Selanjutnya, di blok berikutnya lembaga negara terkait akan berkolaborasi dengan kontraktor untuk mengisi data-data terkait kontrak dan proposal penawaran. Setelah pemenang tender sudah ditentukan, blok berikutnya akan berisi data-data mengenai kebutuhan-kebutuhan prioritas dan hasil penilaian atas proyek PBJ. Di blok-blok ini, warga negara perlu dihadirkan sebagai bagian dari partisipan blockchain sehingga PBJ yang tercatat di blockchain dapat dipantau dan memiliki akuntabilitas publik.[7]

Persiapan penerapan Blockchain perlu memperhatikan tiga aspek: perangkat keras, perangkat lunak, dan sumber daya manusia. Dari aspek perangkat keras, pemerintah perlu memastikan bahwa nodes (komputer-komputer yang digunakan sebagai database terdistribusi blockchain) memiliki prosesor, kapasitas memori, dan kartu antarmuka jaringan yang memadai. Komponen-komponen tersebut berpengaruh terhadap performa blockchain dan waktu yang dibutuhkan untuk memvalidasi data yang masuk ke dalamnya. 

Dari aspek perangkat lunak, pemerintah perlu memastikan bahwa perangkat lunak yang digunakan sudah terbukti keberhasilannya dalam menyediakan solusi blockchain. Penggunaan perangkat lunak yang murah dan bahkan gratis namun kerap tidak terjamin kualitasnya hanya akan menambah biaya dan memunculkan proses pemindahan data yang rumit ke vendor lain. Penggunaan perangkat lunak yang disediakan oleh nama-nama besar seperti Ethereum, Multichain, dan Openchain dapat dipertimbangkan oleh pemerintah.

Terakhir, dari aspek sumber daya manusia, pemerintah perlu memastikan bahwa staf-staf yang bertugas untuk membangun, mengkonfigurasi, dan merawat blockchain memiliki kualifikasi yang memadai serta terus mengikuti state of art dari teknologi ini mengingat penerapan blockchain di luar mata uang kripto baru saja dirintis sehingga terdapat kemungkinan-kemungkinan munculnya praktik terbaik baru yang jauh lebih efisien.[8]

Referensi

[1] Indonesian Corruption Watch. 2021. R6 Jakarta: Indonesian Corruption Watch.

[2] Winata, D. K. (2021, September 16). KPK: Pengadaan Lewat E-Procurement Tetap Rawan Korupsi. mediaindonesia.com. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/433297/kpk-pengadaan-lewat-e-procurement-tetap-rawan-korupsi

[3] Nguyen, Q. & Dang, D. (2018)  Blockchain technology for the advancement of the future, 2018 4th International Conference on Green Technology and Sustainable Development (GTSD), IEEE. pp. 483-486.

[4] Di Matteo, T. (2017).  Blockchain technologies: the foreseeable impact on society and industry, Computer. 50(9)  pp. 18-28.

[5] Vukolic, M. (2015). The quest for scalable blockchain fabric: Proof-of-work vs. bft replication. International  workshop on open problems in network security. Springer. pp. 112-125.

[6] Schar, F. & Berentsen, A. (2020). Bitcoins, Blockchain, and Cryptoassets. Cambridge: MIT Press

[7] Alur kerja ini merupakan hasil adaptasi dari bab buku berikut: Akaba, T. dkk. (2020). A Framework for the Adoption of Blockchain-Based e-Procurement Systems in the Public Sector A Case Study of Nigeria. di: Hattingh, M., Matthee, M., Smuts, H., Pappas, I., Dwivedi, Y. K., & Mäntymäki, M. (Eds.) Responsible Design, Implementation and Use of Information and Communication Technology. Basingstoke: Springer

[8] Nizich, M. & Campisi, M. (2021). Considerations for Blockchain Adoption and Integration. di: Baker, K. Nikbath, E. Smith, S. (eds.) The Emerald Handbook of Blockchain for Business. Bingley: Emerald Publishing

KorupsiBlockchainPengadaan PublikTransparansi

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru