UMKM Indonesia masih menghadapi berbagai problematika walaupun diakui sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Jumlahnya setara dengan 99,99% dari total usaha di Indonesia yaitu 65,47 juta entitas.[1] UMKM menopang perekonomian 117 juta angkatan kerja dan berkontribusi pada 61,1% pendapatan nasional.[2] Namun UMKM belum lepas dari bayang-bayang inefisiensi karena kurangnya sumber daya modal.
Pada tahun 2021, bank umum menyalurkan Rp 1.221,02 triliun. Jumlah kredit UMKM itu masih berkontribusi 19,93% dari total penyaluran kredit perbankan sebesar Rp 5.755,7 triliun. Walaupun terlihat fantastis, angka tersebut masih lebih rendah dari target 30% yang telah ditetapkan pemerintah untuk para bank umum dalam memberikan pinjaman pada UMKM.[3]
Kebanyakan data UMKM yang dirilis pemerintah menunjukkan tren yang progresif dan meningkat signifikan. Namun kenyataannya kebanyakan UMKM yang memiliki akses modal adalah usaha kecil dan menengah yang lolos credit scoring di lembaga keuangan. Sedangkan usaha mikro kebanyakan belum memiliki agunan yang layak dan literasi mengenai akses pengajuan modal usaha.
Permasalahan akses modal menarik problem lainnya antara lain skala usaha yang kecil membuat produksi masal tidak terpenuhi dan harga produk UMKM di pasaran menjadi tidak kompetitif. Selain itu, akan muncul permasalahan stagnasi performa perusahaan karena pemanfaatan teknologi marketing dan operasional yang tidak maksimal.
Program dan Realisasi
Faktanya, pemerintah telah mengakomodasi ketimpangan tersebut dengan mengeluarkan beberapa program antara lain Kredit Usaha Rakyat. Dari waktu ke waktu pemerintah terus melonggarkan ketentuan KUR antara lain pada tahun 2020, suku bunga diturunkan dari 7% menjadi 6%, total plafon KUR ditingkatkan dari Rp 140 triliun menjadi Rp 190 triliun pada tahun 2020, dan akan ditingkatkan bertahap sampai dengan Rp 325 triliun pada tahun 2024, dan peningkatan plafon KUR Mikro dari Rp 25 juta menjadi Rp 50 juta per debitur.
Mengingat sebelumnya plafon pinjaman KUR yang terlalu besar sekitar Rp 50 juta dengan syarat agunan yang senilai, pemerintah juga mengeluarkan skema KUR baru mulai tahun 2021 yang dinamai dengan KUR Super Mikro dengan plafon maksimal Rp 10 juta dan KUR Mikro dengan plafon Rp 10 juta hingga Rp 50 juta tanpa agunan tambahan yang dapat diperoleh melalui 46 penyalur KUR di seluruh Indonesia.[4]
Bahkan pemerintah juga telah mengakomodasi permasalahan akses jarak dan pelayanan yang belum sepenuhnya terjangkau oleh UMKM, yaitu dengan program Senyum (Sentra Layanan Ultra Mikro). Mulai beroperasi sebagai kantor satu atap BRI-PNM-Pegadaian pada September 2021, Senyum mengakselerasi pemasaran produk keuangannya dengan layanan co-location yang memudahkan nasabah dari ketiga perusahaan untuk dapat melakukan transaksi sesuai dengan kebutuhan nasabah.
Melalui Senyum, masyarakat pun dapat mengakses berbagai pembiayaan, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Tabungan BRI Simpedes Umi (Ultra Mikro), Pinjaman Gadai dan Tabungan Emas, serta layanan back office untuk mendukung kebutuhan transaksi anggota kelompok PNM Mekaar (Membina Keluarga Ekonomi Sejahtera).[5] Sekarang Senyum sudah memiliki lebih dari 1.000 gerai di seluruh Indonesia, yang beriringan dengan Agen BRILink menjangkau masyarakat hingga ke pelosok desa dan kecamatan.
Realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) konsisten meningkat tiap tahun selama 6 tahun terakhir dari Rp22,75 triliun pada 2015 menjadi Rp281,86 triliun pada 2021. Itu berarti jika dirata-rata, KUR hanya memberikan sekitar Rp4,3 juta per UMKM (dari perhitungan 65 juta UMKM).[6] Namun kita perlu memeriksa bagaimana persebaran program dan ketepatan sasarannya. Pertama, berdasarkan sektornya, porsi KUR terbesar disalurkan ke sektor perdagangan yang mencapai 44,8%, kemudian disusul sektor pertanian sebesar 30%, jasa 14,1%, industri 9%, dan perikanan 1,8%.
Sedangkan UMKM secara umum, lapangan usaha terbesar adalah perdagangan dan eceran, industri pengolahan, dan penyediaan jasa akomodasi[6], dimana industri pengolahan justru mendapat proporsi terendah dalam penyaluran KUR. Kedua, penyaluran KUR didominasi oleh tiga bank Himbara dengan total penyaluran 92,37%, porsi penyaluran KUR oleh bank swasta mencapai 3,1%, Bank Pembangunan Daerah (BPD)4,37%, koperasi 0,05%, dan sisanya disalurkan oleh perusahaan pembiayaan.[7]
Padahal data AFPI 92,37% pelaku UMKM masih mengandalkan modal sendiri atau pinjaman dari keluarga sebagai modal usaha utama. Sementara itu, baru sekitar 24,44% yang memperoleh pembiayaan dari perbankan dan 0,66% dari lembaga keuangan non-perbankan.[8] Itu berarti akses ke bank dan fasilitas pembiayaan formal masih menjadi hal asing bagi mayoritas UMKM di negeri ini walaupun program KUR telah berkembang secara progresif dari tahun ke tahun.