Pemerintahan | Kepentingan Publik

Penerapan AI dalam Pelayanan Publik: Peluang dan Tantangan

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 21 Sep 2022. 4 min.

Pelayanan publik di Indonesia kini sedang mengalami transformasi digital. Mulai dari digitalisasi dokumen-dokumen kewargaan sampai dengan interaksi antara warga dengan lembaga pemerintahan yang dimediasi oleh aplikasi digital atau situs daring. Seluruh proses tersebut sudah menjadikan pelayanan publik lebih mudah untuk diakses oleh warga negara. Agar manfaat transformasi digital dapat lebih meningkat, pemerintah Indonesia perlu mulai menginkorporasikan teknologi-teknologi digital terkini lainnya yang jauh lebih canggih dan kompleks, salah satunya adalah dengan menerapkan Artificial Intelligence (AI). 

Manfaat AI dapat dilihat di kasus Ali Baba, raksasa e-commerce asal China. Alih-alih mempekerjakan manusia, Ali Baba menjadikan AI sebagai copywriter yang dalam hitungan detik mampu menuliskan deskripsi untuk setiap jutaan produk yang masuk setiap hari. Dengan menggunakan data perilaku konsumen, AI milik Ali Baba mampu membuat deskripsi produk yang mampu menarik pelanggan untuk membeli.

Selain Ali Baba, raksasa media sosial yaitu Twitter juga turut melibatkan AI dalam bisnisnya. Salah satu aktivitas yang dilakukan AI di Twitter adalah untuk pemberantasan berita-berita bohong yang juga menjadi perhatian pemerintah Indonesia. AI yang digunakan Twitter akan menutup akun-akun yang aktivitasnya mengikuti pola dari akun-akun yang sering dilaporkan masyarakat karena telah menyebarkan berita palsu.[1]

Peluang AI dalam Pelayanan Publik

Pemanfaatan AI tidak hanya terbatas pada sektor privat saja, teknologi AI dapat diadopsi oleh sektor publik, seperti pemerintah, untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Implementasi AI dalam pemerintahan dapat meningkatan efisiensi dalam pelayanan publik. Menurut Deputi US Federal General Services Administration (GSA) Office of Citizen Services, konsultasi warga negara terkait pelayanan publik ke pemerintah yang difasilitasi chatbot memakan lebih sedikit biaya dibanding dengan yang dilakukan antara manusia dan manusia secara tatap muka. [2]

Chatbot sendiri merupakan perangkat lunak berbasis AI yang mampu meniru kemampuan manusia dalam merespon percakapan. Bagaimanapun, penghematan biaya akibat implementasi AI di lembaga pemerintah AS bukan berarti luaran kerja yang dihasilkan tidak efektif. Situs rekrutmen tentara AS menggunakan chatbot yang skala pekerjaannya setara dengan 55 orang pegawai.

Chatbot tersebut mampu menjawab pertanyaan, memeriksa kualifikasi calon tentara, dan merujuk calon yang potensial untuk diseleksi lebih lanjut. Dengan menggunakan teknologi machine learning, ia bisa mengenali suara dan memberikan tanggapan yang sangat membantu calon tentara dengan tingkat akurasi di atas 94%.[3]

Selain peningkatan efisiensi, AI juga bisa membuat analisis serta prediksi yang akurat sehingga mampu menginformasikan pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Pada tahun 2016 silam, Kepolisian Kota Chicago menggunakan jasa AI untuk memprediksi wilayah-wilayah mana saja di kota tersebut yang berpotensi untuk memiliki banyak kasus kriminalitas. Informasi yang dihasilkan AI kemudian dijadikan bahan untuk mereformasi manajemen transportasi publik.[4] Di Denmark, kementerian pendidikan memprediksi angka berhenti sekolah di tingkat SMA dengan bantuan AI. Hasil prediksi kemudian digunakan untuk memperbaiki kebijakan pendidikan di sana.[5]

Tantangan AI dalam Pelayanan Publik

Terlepas dari peluang yang ditawarkan AI, pada akhirnya, teknologi ini tetap memberikan tantangan bagi pelayanan publik. Tantangan pertama adalah bias rasial dan gender yang seolah-olah melekat di penerapan AI. Temuan The National Institute for Standards and Technology pada tahun 2019 menunjukkan bahwa kemampuan pengenalan wajah milik AI yang digunakan kepolisian Amerika Serikat mengalami penurunan akurasi ketika wajah yang dinilai adalah wajah perempuan dan wajah orang kulit hitam. Di Boston, bias AI bahkan sudah mencapai tahapan berupa adanya labelisasi pelaku kriminal ke wajah-wajah orang kulit hitam.

Tantangan berikutnya adalah peningkatan pengangguran di kalangan pekerja sektor publik. AI yang memang dirancang untuk meniru kecerdasan manusia mampu melakukan tugas-tugas pegawai tingkat bawah seperti menanggapi pertanyaan warga seperti pada kasus chatbot di atas, mengumpulkan dan merapikan dokumen, dan dokumentasi kegiatan. Alhasil, para pegawai tingkat bawah pun terancam kehilangan pekerjaannya.

Brazil yang pemerintahnya sedang merintis penerapan AI skala besar di sektor publik tengah menghadapi tantangan ini. Diperkirakan lebih dari 100.000 orang atau sekitar 20% dari 521.701 pegawai negeri tingkat federal akan kehilangan pekerjaannya karena otomasi.[6]

Inovasi pelayanan publik dalam bentuk apapun, tidak hanya implementasi AI, pasti akan memiliki peluang dan tantangan. Keberadaan tantangan bukan berarti menghentikan laju perbaikan administrasi publik. Dalam konteks AI, dua tantangan yang sudah dijabarkan di atas tidak bersifat inheren dan bisa diatasi oleh pemerintah.

Untuk mengantisipasi tekno-rasisme dan tekno-seksisme AI, pemerintah Indonesia dapat mengaudit terlebih dahulu sebelum solusi AI diterapkan, apakah di dalamnya terkandung bias atau tidak. Pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta, seperti Biasfix, yang menyediakan jasa audit bias pada AI.[7] Kemudian, untuk mengantisipasi pengangguran akibat AI, alih-alih memberhentikan mereka yang tugasnya tergantikan oleh mesin, pemerintah dapat melatih ulang mereka untuk pekerjaan baru dan kembali mempekerjakan mereka.

Referensi

[1] Marr, B. 2019. Artificial Intelligence in Practice. London: Wiley.

[2] Milakovich, M. 2021. Digital Governance: Applying Digital Technology to Improve Public Services. Oxon: Routledge

[3] Cotrupe, J. 2016. Conversational A.I.:It’s A Bot Time for a New Conversation on Customer Engagement. Stratecast Perspectives & Insight for Executives (SPIE). 16(15). pp.1-12

[4] Kouziokas, G. N. 2017. The application of artificial intelligence in public administration for forecasting high crime risk transportation areas in urban environment. Transportation Research Procedia, 24, 467–473.

[5] Şara, N., Halland, R., Igel, C., & Alstrup, S. 2015. High-School Dropout Prediction Using Machine Learning: A Danish Large-scale Study.

[6] Adamczyk, W. B., Monasterio, L., & Fochezatto, A. 2021. Automation in the future of public sector employment: the case of Brazilian Federal Government. Technology in Society, 67,

[7] Biasfix. 2022. Artificial Intelligence Bias and Fairness Audit. https://biasfix.com/

Artificial IntelligenceEfisiensi Algoritma

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru