Pemerintahan | Kepentingan Publik

Pentingnya Transformasi Digital untuk Penyandang Disabilitas

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 10 Jun 2022. 8 min.

Lebih dari 1 miliar penduduk di dunia adalah Penyandang Disabilitas (PD), sekitar 15% dari total populasi manusia. Oleh karena itu, PD merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia. Dari jumlah keseluruhan PD, 130 juta merupakan individu berusia di atas 15 tahun sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang jauh lebih komprehensif agar memiliki kehidupan yang sejahtera. 

World Health Organization menyebutkan bahwa aktivitas sehari-hari PD memiliki empat jenis hambatan yaitu hambatan sikap, hambatan fisik, hambatan komunikasi, dan hambatan finansial.[1] Transformasi digital di masyarakat mampu meringankan empat hambatan tersebut sehingga mampu membantu PD agar memiliki kehidupan yang lebih baik.

Pelayanan Kesehatan Digital bagi Penyandang Disabilitas

Mobilitas merupakan salah satu masalah utama bagi PD dalam menerima pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kondisi tubuhnya. Keberadaan pelayanan kesehatan digital mampu memenuhi kebutuhan tersebut tanpa adanya kehadiran fisik PD di pusat-pusat kesehatan yang sering kali jauh dari tempat tinggalnya dan fasilitas transportasi yang ada tidak mengakomodasi kondisi tubuhnya.[2]

Salah satu contohnya dapat dilihat dalam layanan Tele-Ophthalmology di Texas bagi penyandang penglihatan rendah yakni orang yang gangguan penglihatannya sudah tidak bisa diperbaiki dengan kacamata, lensa kontak, maupun operasi. Tele-Ophthalmology dilakukan dengan konferensi video antara pasien dan dokter. Konferensi video tersebut menggunakan kamera khusus yang mampu membantu dokter melihat permasalahan-permasalahan mata pasien dari jarak jauh seperti menunjukkan kondisi saraf mata, makula, dan retina.  Dari citra yang diberikan kamera tersebut, dokter mampu mendiagnosis seberapa kuat sisa kemampuan penglihatan pasien dan memutuskan intervensi apabila diperlukan.[3]

Selain bagi penyandang penglihatan rendah, teknologi digital juga mampu membantu penyandang spina bifida (SB) yakni orang yang pertumbuhan sumsum tulang belakangnya berhenti ketika bayi sehingga berdampak kepada kelumpuhan di bagian punggung ke bawah dan gangguan kognitif. Meade dan Maslowski mengembangkan sebuah gim berbasis telepon pintar yang mampu meningkatkan kemampuan manajemen diri penyandang SB seperti memberi tahu tanda-tanda yang dikeluarkan tubuh ketika sudah saatnya buang air kecil dan besar.[4]

EdTech bagi Penyandang Disabilitas

Menurut laporan UNESCO, sebagian besar PD tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan bagi yang pernah sekalipun banyak yang tidak menyelesaikannya. Beberapa faktor seperti jarak sekolah yang jauh sampai dengan fasilitas sekolah yang tidak ramah terhadap PD turut berkontribusi terhadap fenomena tersebut.[5]

Keberadaan EdTech yang produknya menyesuaikan kebutuhan PD memungkinkan mereka untuk bisa belajar dari rumah atau, setidaknya, membantu proses belajar PD di sekolah. Contohnya dapat ditemukan di aplikasi kelas virtual OutSchool, perusahaan EdTech asal Amerika Serikat.

OutSchool menyediakan guru bersertifikasi untuk mengajar para pelajar penyandang disabilitas secara daring dan sinkronis.[6] Tidak hanya itu, aplikasi tersebut juga memiliki fitur Augmented and Alternative Communication sehingga pelajar tuli dapat berkomunikasi dengan gurunya secara non-verbal melalui gambar-gambar yang merepresentasikan kata-kata yang ingin diucapkan sang pelajar.[7]

Amerika Serikat selaku negara maju bukanlah satu-satunya contoh. Ekuador sebagai negara berkembang juga melakukan hal yang sama. Sebuah perangkat keras pelacak mata bernama irisbond disediakan Pemerintah Ekuador untuk para pelajar penyandang palsi serebral (PS) yang memungkinkan mereka menggerakkan kursor di komputer dengan cukup menggunakan gerakan mata, bukan melalui tangan dan tetikus. Menggerakan kursor secara bebas genggam ini penting bagi penyandang PS karena mereka kesulitan mengontrol otot-otot tubuhnya.

Nantinya, perangkat Irisbond tersebut akan tersambung dengan sebuah perangkat lunak yang berisi materi pembelajaran dan kuis. Performa akademik penyandang PS tersebut sebagian besar meningkat setidaknya 20% setelah menggunakan irisbond. [8]

Kerja Jarak Jauh bagi Penyandang Disabilitas

Meskipun sudah banyak negara yang mengeluarkan hukum berupa mewajibkan pemberi kerja untuk  mempekerjakan PD, PD tetap kesulitan untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Banyaknya kebutuhan PD yang harus diakomodasi pemberi kerja–dan oleh karenanya harus mengeluarkan lebih banyak biaya—merupakan salah satu alasan dari tingginya angka pengangguran di kalangan PD.[9] Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat PD mampu berkontribusi sama baiknya dengan non-PD dalam bekerja.

Sebuah studi gabungan yang dilakukan American Association of People with Disability (AAPD) dan Disability:IN menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki nilai di atas 80 dalam Disability Equality Index (DEI) menghasilkan pengembalian ekuitas 2x lebih besar dibandingkan perusahaan yang nilai DEI-nya berada di bawah.

Kemudian, perusahaan yang mengalami perkembangan dalam DEI juga mengalami peningkatan pengembalian ekuitas 4x lipat dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami perkembangan.[10] Keberadaan fakta ini tentu melahirkan manfaat yang harus diraih oleh baik pemberi kerja maupun PD. Sistem kerja jarak jauh yang marak terjadi selama pandemi mampu memudahkan jalan untuk meraih manfaat tersebut. 

Microsoft Teams, platform komunikasi bisnis yang sering digunakan untuk kerja jarak jauh, sudah memiliki banyak fitur-fitur ramah PD. Fitur high contrast mode mampu membantu orang yang sensitivitas matanya terhadap kontras warna tidak terlalu baik. Penyandang penglihatan rendah akan sangat terbantu dengan fitur-fitur seperti immersive reader mode yang mampu meningkatkan keterbacaan dan komprehensi dari obrolan di Teams, text preference yang mampu membesarkan ukuran huruf dan meningkatkan jarak di antaranya, dan Read Aloud yang mampu membacakan tulisan-tulisan di Teams. Fitur Read Aloud juga bisa membantu penyandang dyslexia. Keberadaan fitur transcription dan closed caption yang  dapat mengubah suara dalam video-video di Meats menjadi tulisan memudahkan kelompok tuli ketika bekerja.[11]

Seluruh kemudahan yang secara singkat sudah dipaparkan di atas, bagaimanapun, tidak menutup kemungkinan bagi transformasi digital untuk mengabaikan kebutuhan PD.[12] Pemerintah harus memastikan seluruh PD yang menjadi warga negaranya mendapatkan manfaat dari transformasi digital sama seperti warga negara lain.

Negara-negara Uni-Eropa mampu menjadi teladan, termasuk bagi Indonesia, dalam memastikan transformasi digital yang ramah PD. Melalui Accessibility Communication 2005, Uni Eropa mewajibkan situs publik setiap institusi yang ada di bawahnya untuk memudahkan aksesibilitas PD.[13] Aksesibilitas tersebut menggunakan standar yang ada di Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) yang dibuat oleh Web Accesibility Initiatives.

Standar tersebut meliputi, namun tidak terbatas, keberadaan fitur untuk mengubah ukuran huruf, jarak antar huruf, font, warna, dan kontras bagi penyandang gangguan penglihatan; penyediaan transkrip untuk video dan audio yang ada di situs bagi penyandang gangguan pendengaran; dan kemungkinan untuk mengoperasionalisasikan situs hanya dengan menggunakan papan ketik bagi penyandang gangguan mobilitas. [14]

Referensi

[1] WHO. (2021, November 24). Disability and health. WHO. Retrieved June 19, 2022, from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/disability-and-health

[2] World Health Organization. (2015). Global Disability Action Plan 2014-2021: Better Health for All People with Disability. Geneva: World Health Organization.

[3] Tang, R. A., Morales, M., Ricur, G., & Schiffman, J. S. (2005). Telemedicine for eye care. Journal of Telemedicine and Telecare, 11(8), 391–396.

[4] Meade, M. & Maslowski, E. (2018). Development of a Serious Gaming App for Individuals with Spinal Cord Injury. The Journal on Technology and Person with Disability. 6. 162-180

[5] UNESCO, (2020). Global Education Monitoring Report: Inclusion and Education. Paris: UNESCO.

[6] Grandy, N. (n.d.). Learning with special needs at Outschool. Outschool Support. Retrieved June 19, 2022, from https://support.outschool.com/en/articles/1503329-learning-with-special-needs-at-outschool

[7] Dooley, S. (n.d.). AAC-ceptance Club: A Social Group for Augmentative & Alternative Communicators | Small Online Class for Ages 9-14. Outschool. Retrieved June 19, 2022, from https://outschool.com/classes/aac-ceptance-club-a-social-group-for-augmentative-and-alternative-communicators-TvMjrShy#abl4lcm4q3 

[8] Alvarado-Cando, O., Belén Jara, G., Barzallo, P., & Torres-Salamea, H. (2019). A Software Based on Eye Gaze to Evaluate Mathematics in Children with Cerebral Palsy di Inclusive Education. Advances in Intelligent Systems and Computing. 909–915. 

[9] Baumberg, B. (2015). From impairment to incapacity—Educational inequalities in disabled people’s ability to work. Social Policy & Administration, 49(2), 182–198.

[10] AAPD & Disability:IN. (2018). GETTING TO EQUAL: THE DISABILITY INCLUSION ADVANTAGE. Dublin: Accenture. 

[11] IT Partner. (2020, August 31). Accessibility in Microsoft Teams. IT Partner. Retrieved June 19, 2022, from https://o365hq.com/blog/accessibility-in-microsoft-teams/ 

[12] Weiss, T. C. (2013, February 2). People with Disabilities and Technology Challenges. Disabled World. Retrieved June 19, 2022, from https://www.disabled-world.com/disability/accessibility/websitedesign/tech-challenge.php 

[13] Jankowska, M. (2020). Digital Transformation – The Design for All Approach: European Accesibility for the Disabled. International Journal for Special Education. 35(2). 19-28.

[14] Web Accesibility Initiatives. (2022, June 6). Understanding WCAG 2.1. W3C. Retrieved June 20, 2022, from https://www.w3.org/WAI/WCAG21/Understanding/

DisabilitasEdTechKerja Jarak JauhTelemidisin

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru