Ekonomi | Industri dan Startup

Penuhi Kebutuhan Masyarakat, Bank Gencar Masuk Ekosistem Digital

Nida / Nida 16 Jun 2022. 7 min.

Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi digital di berbagai sektor, tak terkecuali industri perbankan. Di tengah melonjaknya permintaan untuk aktivitas secara online, pemain digital baru mengguncang pasar dan mengubah perbankan secara individu dan perusahaan. Seperti dua sisi koin, pandemi Covid-19 berdampak pada resesi perekonomian global, namun secara tidak langsung membuat berbagai industri terpacu bisnisnya, terutama sektor digital, peluang ini yang juga diambil perbankan.

Tidak semua bank digital Asia memiliki kisah sukses, tetapi bank-bank yang telah mengembangkan model bisnis yang produktif dan berskala secara efektif telah berkembang pesat. Setelah didirikan, bank digital dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dengan biaya layanan yang lebih rendah daripada perusahaan lama, menempatkan mereka pada posisi untuk memperluas pangsa pasar. Selain itu, arsitektur digital mereka memungkinkan mereka untuk mengakses ekosistem bisnis dan pelanggan, membawa manfaat eksponensial dalam hal pengetahuan dan data.[1]

Di Indonesia, transformasi digital perbankan telah terjadi sebelum pandemi Covid-19, namun setelah pandemi semakin mempercepat industri perbankan untuk melakukan pengembangan teknologi digitalnya. Tidak semua bank harus menjadi bank digital, bagi bank besar, mengubah perusahaan menjadi bank digital menjadi sulit karena terlalu besarnya perusahaan, dan memiliki nasabah yang juga sangat banyak. Sehingga, skema hybrid bank menjadi pilihan, dan tidak sedikit pula bank-bank besar mengakuisisi atau membeli bank kecil untuk dijadikan bank digital yang menyasar nasabah ritel.

Tanpa ekosistem, akan berat untuk bank digital berkompetisi dan meraih untung ke depan.

Didorong Kolaborasi

Untuk bank-bank besar atau investor besar yang sudah memiliki ekosistem tentu bisa dengan mudah mendapatkan nasabah dengan pengembangan produk dan layanan digitalnya. Terlebih lagi bank jumbo ini terus membuka kolaborasi dengan pemain-pemain teknologi lain melalui open banking dengan teknologi Application Programming Interface (API).

Misalnya Allo Bank, bank digital besutan pengusaha kaya Chairul Tanjung ini ke depan bisa berkembang didukung dengan ekosistem CT Corp. Shingga, dalam aplikasi Allo Bank, nasabah bisa melakukan berbagai kegiatan tidak hanya kegiatan perbankan, tapi juga utilitas kehidupan lainnya dalam satu aplikasi.

Selain itu, bank digital yang juga memiliki ekosistem digital adalah Bank Jago, setelah mendapatkan suntikan modal dari Goto, Bank Jago terus ekspansi bisnis didukung ekosistem Gojek, Tokopedia, Bibit yang bisa dilakukan pada satu aplikasi.

Dengan masuk ke dalam ekosistem digital, akan lebih mudah bagi bank untuk bersaing, dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga menjadi bank pilihan karena efisien, mudah, dan memberikan penawaran-penawaran terbaik. Lalu, Bank Aladin Syariah juga masuk dalam ekosistem Alfamart yang tersebar di seluruh Indonesia, baru meluncurkan fitur tarik-setor tunai di gerai Alfamart. Inovasi ini menjadi babak baru dalam ekosistem perbankan digital.[2]

Dari sisi bank besar, BCA juga mengakuisisi bank kecil untuk dijadikan bank digital bernama BCA Digital (blu), ekosistem yang dibangun BCA juga dapat dinikmati oleh nasabah blu. Untuk BCA sendiri terus berkolaborasi dengan ekosistem digital guna memperluas akseptasi masyarakat terhadap layanan yang diberikan. Bank Raya yang merupakan bank digital BRI juga semakin memperkuat sinergi dengan open banking, di mana pembukaan rekening Bank Raya dapat dilakukan lewat aplikasi BRImo. 

Tantangan Bank Digital

Tanpa ekosistem, akan berat untuk bank digital berkompetisi dan meraih untung ke depan. Pasalnya, masyarakat akan memilih bank yang memberikan kemudahan untuk melakukan berbagai kegiatan dalam satu aplikasi super apps. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator perbankan juga mendorong bank berkolaborasi untuk memberikan layanan kepada masyarakat, diikuti dengan penerapan manajemen risiko dan juga aspek perlindungan konsumen. Persaingan akan terlihat dari keberhasilan bank-bank bertahan dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun ke depan.

Sama halnya dengan negara lain, tidak semua bank dapat bertahan dan menghasilkan profit, hanya yang masuk dalam ekosistem yang bisa survive, seperti WeBank asal Tiongkok dan KakaoBank asal Korea Selatan.[3]

Sementara bank digital di geografi lain sering kali merupakan perusahaan rintisan, perbankan digital Asia sebagian besar didorong oleh perusahaan dan konsorsium mapan. Terlepas dari tantangan struktural terkait tata kelola, konsorsium membawa keuntungan signifikan dalam hal skala pencapaian. Hanya lima tahun setelah diluncurkan, WeBank yang didukung Tencent melayani sekitar 200 juta orang, dan MYbank yang didukung Alibaba memiliki lebih dari 20 juta pelanggan UKM.

Dalam waktu singkat, bank digital Tiongkok sekarang memiliki sekitar 5% pangsa pasar pinjaman konsumen tanpa jaminan sebesar RMB 5 triliun atau sekitar US$ 700 miliar di negara itu dan lebih dari 7% pinjaman UKM online. KakaoBank Korea Selatan, diluncurkan pada 2017, menarik lebih dari 10 juta nasabah pada tahun pertama dan sekarang memiliki sekitar 5% pangsa pasar pinjaman konsumen tanpa jaminan di negara tersebut.[4]

Selain peluang yang besar, industri perbankan digital juga dihantui oleh sejumlah tantangan, antara lain tingkat literasi digital masyarakat yang masih rendah, belum semua daerah memiliki infrastruktur seperti jaringan internet. Kemudian, kebijakan dari regulator juga harus mendukung cepatnya perkembangan teknologi, karena biasanya kebijakan dari regulator terbilang kurang up-to-date, sehingga lebih cepat teknologi dibandingkan regulasinya.

Hal ini yang menghambat perkembangan inovasi perbankan ke depan.[5] Kemudian, kejahatan digital juga menjadi tantangan yang harus diantisipasi perbankan, jangan sampai perkembangan teknologi dimanfaatkan dengan mudah oleh para hacker. Sehingga, selain pengamanan yang diperkuat, bank juga harus aktif mengedukasi para nasabah untuk menjaga kerahasiaan data pribadi.

Referensi

[1]  McKinsey & Company (2021). Joining the next generation of digital banks in Asia. https://www.mckinsey.com/industries/financial-services/our-insights/joining-the-next-generation-of-digital-banks-in-asia

[2]  Kontan (2022). Bank Digital Mulai Akselerasi Pertumbuhan Lewat Ekosistem  Para Investornya. https://keuangan.kontan.co.id/news/bank-digital-mulai-akselerasi-pertumbuhan-lewat-ekosistem-para-investornya

[3]  Investor (2021). Bank Digital Harus Dorong Nasabah Aktif Transaksi. https://investor.id/finance/260585/bank-digital-harus-dorong-nasabah-aktif-transaksi

[4]  McKinsey & Company (2019). Digital banking in Indonesia: Building loyalty and generating growth. https://www.mckinsey.com/industries/financial-services/our-insights/digital-banking-in-indonesia-building-loyalty-and-generating-growth

[5]  Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (2021). Digital Environment Tantangan Terbesar Bank Digital. https://lppi.or.id/site/assets/files/2015/riset_-_digital_environment.pdf

ekosistem digitalbank digitaltransformasi

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru