Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2022 lalu, perjanjian perdagangan bebas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) resmi berlaku. RCEP terdiri dari enam belas negara anggota yaitu seluruh negara ASEAN, Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan Selandia Baru. Seluruh anggota RCEP merupakan kekuatan ekonomi penting dunia sehingga berlakunya RCEP telah menciptakan zona perdagangan bebas terbesar di dunia; 30% populasi dunia, 28% total perdagangan, dan 30% produk domestik bruto global berada di dalamnya.[1]
Tujuan pembentukan RCEP sendiri adalah untuk melonggarkan hambatan perdagangan sekaligus untuk memperluas akses atas barang dan jasa untuk para pelaku bisnis yang ada di negara-negara anggota. Sebagai sebuah peraturan, RCEP mengatur perihal perdagangan barang, perdagangan jasa, rule of origin, investasi, kompetisi, hambatan non-tarif, UMKM, dan lain-lain—termasuk mengenai electronic commerce (e-commerce) yang menjadi pembahasan utama dalam tulisan.
E-Commerce dalam RCEP
Peraturan-peraturan mengenai e-commerce terdapat di bab 12 Persetujuan RCEP. Secara garis besar, bab tersebut mengatur mengenai empat hal.[2] Pertama, fasilitasi perdagangan elektronik berupa negara-negara anggota didorong untuk menerapkan administrasi nirkertas dalam perdagangan dan menggunakan tanda tangan serta otentikasi elektronik.
Kedua, penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan e-commerce melalui perlindungan informasi pribadi konsumen, pengaturan persebaran surel bisnis spam, pembuatan kerangka regulasi domestik, transparansi, dan penguatan keamanan siber.
Ketiga, pelarangan penerapan bea masuk terhadap seluruh transmisi elektronik yang terjadi lintas batas negara. Keempat, pembebasan transfer data lintas batas negara dalam artian negara-negara anggota tidak diperbolehkan untuk mewajibkan perusahaan asing untuk memiliki kehadiran fisik di teritorinya.