Pemerintahan | Kepentingan Publik

RCEP dan Dependensi Digital Indonesia

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 21 Agu 2022. 3 min.

Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2022 lalu, perjanjian perdagangan bebas Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) resmi berlaku. RCEP terdiri dari enam belas negara anggota yaitu seluruh negara ASEAN, Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan Selandia Baru. Seluruh anggota RCEP merupakan kekuatan ekonomi penting dunia sehingga berlakunya RCEP telah menciptakan zona perdagangan bebas terbesar di dunia; 30% populasi dunia, 28% total perdagangan, dan 30% produk domestik bruto global berada di dalamnya.[1]

Tujuan pembentukan RCEP  sendiri adalah untuk melonggarkan hambatan perdagangan sekaligus untuk memperluas akses atas barang dan jasa untuk para pelaku bisnis yang ada di negara-negara anggota.  Sebagai sebuah peraturan, RCEP mengatur perihal perdagangan barang, perdagangan jasa, rule of origin, investasi, kompetisi, hambatan non-tarif, UMKM, dan lain-lain—termasuk mengenai electronic commerce (e-commerce) yang menjadi pembahasan utama dalam tulisan. 

E-Commerce dalam RCEP

Peraturan-peraturan mengenai e-commerce terdapat di bab 12 Persetujuan RCEP. Secara garis besar, bab tersebut mengatur mengenai empat hal.[2] Pertama, fasilitasi perdagangan elektronik berupa negara-negara anggota didorong untuk menerapkan administrasi nirkertas dalam perdagangan dan menggunakan tanda tangan serta otentikasi elektronik. 

Kedua, penciptaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan e-commerce melalui  perlindungan  informasi pribadi konsumen, pengaturan persebaran surel bisnis spam, pembuatan kerangka regulasi domestik, transparansi, dan penguatan keamanan siber.

Ketiga,  pelarangan penerapan bea masuk terhadap seluruh transmisi elektronik yang terjadi lintas batas negara. Keempat, pembebasan transfer data lintas batas negara dalam artian negara-negara anggota tidak diperbolehkan untuk mewajibkan perusahaan asing untuk memiliki kehadiran fisik di teritorinya. 

Seluruh peraturan tersebut memiliki dampak yang ambivalen. Di satu sisi, diterapkannya RCEP mampu mengurangi biaya transaksi para pelaku bisnis di Indonesia, termasuk UMKM. Di sisi lain, penerapan RCEP juga menimbulkan tantangan-tantangan bagi pembangunan di Indonesia.

Bagian berikutnya akan membahas tantangan tersebut yaitu distribusi keuntungan yang tidak merata dan industrialisasi digital yang terhambat.

Distribusi Keuntungan yang Tidak Merata

Salah satu fitur paling mencolok dari keberadaan RCEP adalah keberadaan ketimpangan ekonomi, tingkat industrialisasi, dan kemapanan teknologi antar negara-negara anggotanya. Negara-negara ASEAN—dengan Singapura sebagai pengecualian—yang baru mulai merintis transformasi digital harus berhadapan vis a vis dengan negara-negara adidaya teknologi yakni Jepang, Korea Selatan, serta China dalam sebuah persaingan pasar bebas. Konsekuensi dari hal ini adalah volume perdagangan yang akan terkonsentrasi di tiga negara tersebut.[3]

Fitur paling mencolok berikutnya adalah RCEP membuka ruang yang luas bagi pembuatan kebijakan-kebijakan tambahan di luar RCEP.[4] Dampaknya, negara-negara anggota kemungkinan besar akan kerap melakukan negosiasi-negosiasi ekstra-institusional mengenai perihal-perihal insidentil yang belum diatur secara spesifik di RCEP.

Kombinasi dari ketimpangan dalam RCEP dan fleksibilitas peraturannya akan menempatkan Korea Selatan, Jepang, dan China sebagai negara yang lebih diuntungkan pada negosiasi-negosiasi tersebut. Di lain sisi, Indonesia bersama dengan tetangga ASEAN-nya akan mengambil lebih sedikit keuntungan karena ketiadaan hukum yang mampu menjadi daya tawar mereka.  

Industrialisasi Digital yang Terhambat

Salah satu keuntungan dari penanaman modal asing (PMA) bagi Indonesia adalah akselerasi industrialisasi. Melalui kehadiran fisik perusahaan digital dari negara maju di Indonesia, negara ini akan mendapatkan berbagai manfaat seperti akses dan transfer teknologi yang merupakan syarat mendapatkan izin PMA, penciptakan pasar bagi perusahaan domestik dengan mendorong perusahaan asing untuk melakukan pengadaan bersama mereka, joint venture antara perusahaan asing dan BUMN yang berdampak kepada penguatan kapasitas bisnis BUMN,  pembentukan kerja sama riset dan pengembangan, penambahan sumber pajak, dan penyerapan tenaga kerja lokal. 

Sayangnya, seluruh manfaat tersebut kini sulit didapat karena RCEP mendorong transmisi data lintas batas negara dan melarang negara tuan rumah untuk mewajibkan kehadiran fisik perusahaan digital asing yang memiliki kegiatan bisnis di negaranya.[5]

Meskipun dalam RCEP larangan untuk mewajibkan kehadiran fisik dapat dibatalkan selama negara tuan rumah mampu menunjukkan kepentingan keamanan yang objektif, objektivitas ini pada akhirnya menjadi predikat yang bisa diperdebatkan dan, seperti yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, negara-negara maju adalah penentu hasil perdebatan. Alhasil, dependensi Indonesia terhadap produk-produk digital negara-negara maju pun tetap berlangsung.

Referensi

[1] Flach, L. Hildenbrand, H. & Teti, F. (2021). The Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement and Its Expected Effects on World Trade. International Trade. pp. 92-98

[2] Asian Development Banks. (2022). The Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement A New Paradigm In Asian Regional Cooperation?. Manila: Asian Development Bank

[3] Blanchard, J. F., Liang, W., & Strangio, S. (2022, May 4). Reassessing RCEP's Implications for Digital Trade and E-Commerce. The Diplomat. https://thediplomat.com/2022/05/reassessing-rceps-implications-for-digital-trade-and-e-commerce/

[4] Asian Development Banks. (2022). The Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement A New Paradigm In Asian Regional Cooperation?. Manila: Asian Development Bank

[5] Novi, E., & Strangio, S. (2019, April 4). The Risk of E-Commerce Provisions in the RCEP. The Diplomat. https://thediplomat.com/2019/04/the-risk-of-e-commerce-provisions-in-the-rcep/

RCEP IndustrialisasiInvestasie-commercePerdagangan Bebas

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru