Teknologi | Metaverse

Tantangan Metaverse sebagai Cikal Bakal Pemain Utama dalam Teknologi Dunia

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 28 Jul 2022. 4 min.

Metaverse menjadi salah satu hal yang paling populer untuk dibicarakan di tahun 2022 ini. Metaverse sendiri merupakan sebuah dunia daring di mana para penggunanya dapat memainkan gim, bekerja, dan berkomunikasi secara virtual dengan, biasanya, difasilitasi headset  Virtual Reality (VR).

Sebetulnya, metaverse bukanlah sebuah istilah baru. Sebagai konsep, metaverse pertama kali muncul di novel ‘Snow Crash’ karya Neal Stephenson yang diterbitkan pada tahun 1992.  Pada tahun 1995, ide mengenai metaverse direalisasikan dengan dibuatnya gim tiga dimensi  bernama Active World.

Delapan tahun kemudian, salah satu platform multimedia daring, Second World, dirilis. Pengguna yang dimediasi avatar dapat berinteraksi secara virtual dengan pengguna lainnya di Second World, bahkan mereka dapat melakukan jual-beli di sana. Lahirnya second world kemudian menginspirasi produk-produk metaverse monumental lainnya seperti Minecraft, Roblox, dan Fortnite.

Namun, istilah tersebut baru menembus telinga khalayak ramai ketika pada tahun 2021 silam CEO Facebook, Mark Zuckerberg, memperkenalkan produk Metaverse yang diluncurkan oleh perusahaannya ke publik. Tidak hanya meluncurkan Metaverse, Zuckerberg juga mengumumkan perubahan nama perusahaannya dari Facebook, Inc. menjadi Meta. 

Metaverse yang semula hanya sebuah konsep abstrak di sebuah novel berubah menjadi pemain utama dalam produk teknologi khusus konsumen.[1] Berbagai sektor mulai mendorong adopsi teknologi metaverse yang diprediksi akan dapat mendorong laju produktivitas dan inovasi. 

Akan tetapi, kehadiran dan perkembangan teknologi ini juga dapat melahirkan beberapa dampak buruk yang meliputi ancaman terhadap data pribadi konsumen dan gangguan terhadap keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Untuk mengimbangi laju proliferasi produk-produk metaverse dan menekan risiko dampak negatif metaverse, pemerintah perlu menciptakan sebuah regulasi komprehensif yang mampu memastikan bahwa metaverse mampu bermanfaat bagi warga negara tanpa harus menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. 

Metaverse dan Ancaman terhadap Privasi Pengguna

Salah satu upaya yang tengah ditempuh pemerintah dalam menyikapi kehadiran metaverse adalah dengan menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Sesuai dengan namanya, RUU PDP berusaha untuk mengantisipasi ancaman-ancaman terhadap data-data elektronik pengguna internet, termasuk yang ada di metaverse.

Dedy Permadi, juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan bahwa akan semakin banyak jumlah dan jenis data pribadi pengguna yang akan diutilisasi oleh metaverse apabila dibandingkan dengan produk internet lainnya. Menurutnya, RUU PDP dapat menjadi regulasi yang komprehensif dalam melindungi data pribadi pengguna metaverse dari penyalahgunaan.[2]

Potensi penyalahgunaan data pribadi seperti yang dikatakan oleh Dedy benar adanya. Avatar, representasi pengguna di metaverse, mampu memproduksi berbagai jenis data seperti pesan teks, suara, video, dan informasi perilaku pengguna di metaverse (e.g. durasi penggunaan aplikasi dan produk yang dibeli) .

Data-data personal yang kemudian disimpan oleh penyedia layanan metaverse tersebut memiliki potensi untuk dipalsukan dan dibocorkan. Misalnya, pesan teks, suara dan rekaman video yang dihasilkan avatar dapat diretas dan dijadikan sebagai bahan doxing–yakni praktik penyebarluasan informasi pribadi korban dengan tujuan mempermalukan korban atau pemerasan.[3] Avatar pengguna pun tidak luput dari serangan. Penyerang dapat mengambil alih kendali avatar korban dan menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang merugikan korban.[4]

Seiring dengan manfaat yang ditawarkan, penggunaan Metaverse memiliki sejumlah tantangan. Mulai dari pelanggaran privasi dan data pribadi hingga gangguan keseimbangan hidup-bekerja.

Selain jenis-jenis data di atas yang juga dapat ditemukan di Web 2.0, Metaverse memanfaatkan berbagai jenis data baru yang semakin meningkatkan potensi ancaman terhadap privasi pengguna. Headset VR yang dikenakan pengguna dapat merekam seluruh pembicaraannya secara langsung. Head Monitoring Device (HMD) dapat merekam lingkungan sekitar pengguna yang sering kali merupakan ruang privat seperti kamar tidur.

Teknologi pelacak gerakan mata dapat mengetahui objek yang sedang dilihat pengguna metaverse.[5] Ancaman terhadap privasi seperti spionase dan penguntitan yang semula hanya bisa dilakukan di dunia nyata, berkat adanya teknologi dan informasi yang diproduksi di metaverse, kini juga bisa dilakukan di dunia maya.[6]

Metaverse dan Gangguan terhadap Keseimbangan Hidup-Kerja

Permasalahan privasi metaverse tidak berhenti dalam penyalahgunaan data namun juga meliputi berkurangnya waktu-waktu privat bagi penggunanya, terutama pengguna sektor bisnis. Sektor bisnis sendiri merupakan sasaran utama dari penyedia layanan metaverse.[7]

Dengan difasilitasi metaverse, banyak pekerjaan kini dapat dilakukan secara jarak jauh. Salah satu asumsi keunggulan dari kerja jarak jauh ini adalah peningkatan fleksibilitas kerja bagi para pelaku bisnis yakni pelaku bisnis dapat menentukan sendiri kapan dia harus bekerja dan kapan dia bisa melakukan aktivitas non-kerja.[8] Sayangnya, tren kerja jarak jauh yang mengalami proliferasi saat pandemi menjadikan asumsi tersebut salah.

Adanya anggapan bahwa seseorang pasti selalu daring dan cepat tanggap dalam menerima tugas baru menyebabkan sistem kerja jarak jauh memiliki beban kerja jauh lebih besar dibanding sistem konvensional.[9] Peningkatan beban kerja menyebabkan lebih banyak pelaku bisnis yang kerja lembur.[10]

Berangkat dari permasalahan kedua ini, regulasi terhadap metaverse perlu dibuat lebih komprehensif. Regulasi yang sedang dibuat pemerintah sekarang hanya mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan penyalahgunaan data pribadi pengguna metaverse. Lebih dari itu, regulasi yang dibuat oleh pemerintah juga perlu memastikan bahwa metaverse, yang berpotensi meningkatkan jumlah kerja jarak jauh, tidak memperkecil ruang privat dari penggunanya. 

Referensi

[1]Ball, M. (2022, Juli 22). The Metaverse: And How it Will Revolutionize Everything. United States: Liveright.

[2] Burhan, F. A. (2021, Desember 16). Jadi Tren, Metaverse Dibahas dalam RUU Perlindungan Data Pribadi?. Teknologi Katadata.co.id. https://katadata.co.id/yuliawati/digital/61bb0fe203985/jadi-tren-metaverse-dibahas-dalam-ruuperlindungan-data-pribadi

[3] Di Pietro, R. &  Cresci, S. (2021)  "Metaverse: Security and Privacy Issues," 2021 Third IEEE International Conference on Trust, Privacy and Security in Intelligent Systems and Applications (TPS-ISA)

[4]Yogesh, D. dkk. (2022). Metaverse beyond the hype: Multidisciplinary perspectives on emerging challenges, opportunities, and agenda for research, practice and policy. International Journal of Information Management. 66. 102542. 10.1016/j.ijinfomgt.2022.102542. 

[5] Falchuk, B., Loeb, S., & Neff, R. (2018). The social metaverse: Battle for privacy. IEEE Technology and Society Magazine, 37(2), 52-61.

[6] Di Pietro, R. &  Cresci, S. (2021)  "Metaverse: Security and Privacy Issues," 2021 Third IEEE International Conference on Trust, Privacy and Security in Intelligent Systems and Applications (TPS-ISA)

[7] Xi, N., Chen, J., Gama, F. dkk. (2022) The challenges of entering the metaverse: An experiment on the effect of extended reality on workload. Inf Syst Front.

[8] Raghuram, S. N., J. Sharon Hill, L. Gibbs, and M. M. Likoebe. (2019). “Virtual Work: Bridging Research Clusters.” Academy of Management Annals 13 (1): 308–341.

[9] Bin, W., Y. Liu, J. Qian, and S. K. Parker. (2021). “Achieving Effective Remote Working during the COVID-19 Pandemic: A Work Design Perspective.” Applied Psychology 70 (1): 16–59.

[10] Hertz, R., J. Mattes, and A. Shook. (2021). “When Paid Work Invades the Family: Single Mothers in the COVID-19 Pandemic.” Journal of Family Issues 42 (9): 2019–2045.

MetaverseRUU PDPPrivasiKerja Jarak Jauh

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru