Metaverse menjadi salah satu hal yang paling populer untuk dibicarakan di tahun 2022 ini. Metaverse sendiri merupakan sebuah dunia daring di mana para penggunanya dapat memainkan gim, bekerja, dan berkomunikasi secara virtual dengan, biasanya, difasilitasi headset Virtual Reality (VR).
Sebetulnya, metaverse bukanlah sebuah istilah baru. Sebagai konsep, metaverse pertama kali muncul di novel ‘Snow Crash’ karya Neal Stephenson yang diterbitkan pada tahun 1992. Pada tahun 1995, ide mengenai metaverse direalisasikan dengan dibuatnya gim tiga dimensi bernama Active World.
Delapan tahun kemudian, salah satu platform multimedia daring, Second World, dirilis. Pengguna yang dimediasi avatar dapat berinteraksi secara virtual dengan pengguna lainnya di Second World, bahkan mereka dapat melakukan jual-beli di sana. Lahirnya second world kemudian menginspirasi produk-produk metaverse monumental lainnya seperti Minecraft, Roblox, dan Fortnite.
Namun, istilah tersebut baru menembus telinga khalayak ramai ketika pada tahun 2021 silam CEO Facebook, Mark Zuckerberg, memperkenalkan produk Metaverse yang diluncurkan oleh perusahaannya ke publik. Tidak hanya meluncurkan Metaverse, Zuckerberg juga mengumumkan perubahan nama perusahaannya dari Facebook, Inc. menjadi Meta.
Metaverse yang semula hanya sebuah konsep abstrak di sebuah novel berubah menjadi pemain utama dalam produk teknologi khusus konsumen.[1] Berbagai sektor mulai mendorong adopsi teknologi metaverse yang diprediksi akan dapat mendorong laju produktivitas dan inovasi.
Akan tetapi, kehadiran dan perkembangan teknologi ini juga dapat melahirkan beberapa dampak buruk yang meliputi ancaman terhadap data pribadi konsumen dan gangguan terhadap keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Untuk mengimbangi laju proliferasi produk-produk metaverse dan menekan risiko dampak negatif metaverse, pemerintah perlu menciptakan sebuah regulasi komprehensif yang mampu memastikan bahwa metaverse mampu bermanfaat bagi warga negara tanpa harus menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.
Metaverse dan Ancaman terhadap Privasi Pengguna
Salah satu upaya yang tengah ditempuh pemerintah dalam menyikapi kehadiran metaverse adalah dengan menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Sesuai dengan namanya, RUU PDP berusaha untuk mengantisipasi ancaman-ancaman terhadap data-data elektronik pengguna internet, termasuk yang ada di metaverse.
Dedy Permadi, juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan bahwa akan semakin banyak jumlah dan jenis data pribadi pengguna yang akan diutilisasi oleh metaverse apabila dibandingkan dengan produk internet lainnya. Menurutnya, RUU PDP dapat menjadi regulasi yang komprehensif dalam melindungi data pribadi pengguna metaverse dari penyalahgunaan.[2]
Potensi penyalahgunaan data pribadi seperti yang dikatakan oleh Dedy benar adanya. Avatar, representasi pengguna di metaverse, mampu memproduksi berbagai jenis data seperti pesan teks, suara, video, dan informasi perilaku pengguna di metaverse (e.g. durasi penggunaan aplikasi dan produk yang dibeli) .
Data-data personal yang kemudian disimpan oleh penyedia layanan metaverse tersebut memiliki potensi untuk dipalsukan dan dibocorkan. Misalnya, pesan teks, suara dan rekaman video yang dihasilkan avatar dapat diretas dan dijadikan sebagai bahan doxing–yakni praktik penyebarluasan informasi pribadi korban dengan tujuan mempermalukan korban atau pemerasan.[3] Avatar pengguna pun tidak luput dari serangan. Penyerang dapat mengambil alih kendali avatar korban dan menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang merugikan korban.[4]