Pemerintahan | Keamanan dan Pertahanan

Terorisme dan Media Sosial

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 26 Jul 2022. 7 min.

Transformasi digital sudah mencakup seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok teroris. Hal ini dapat dilihat dari kelompok-kelompok teroris yang kini melibatkan penggunaan media sosial untuk melakukan operasinya. Aksi teror penabrakan Charlottesville yang dilakukan oleh anggota kelompok Neo-Nazi di Amerika Serikat difasilitasi oleh algoritma media sosial seperti 4chan dan Reddit. Di Indonesia, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS memanfaatkan facebook, twitter, youtube, WhatsApp, dan Telegram untuk merekrut kombatan dan mengadakan penggalangan dana.

Penggunaan media sosial oleh kelompok terorisme tentu menjadi tantangan baru bagi pemerintah dalam mendorong transformasi digital.  Agar tindak terorisme  yang difasilitasi transformasi digital dapat diminimalisasi,  pemerintah perlu mengetahui bagaimana media sosial berkontribusi terhadap aksi kelompok teroris dan bagaimana media sosial digunakan oleh mereka.

Kontribusi Media Sosial terhadap Aksi Kelompok Teroris  

Dekade belakangan, media sosial kerap disebut memiliki kontribusi besar terhadap aksi-aksi kelompok teror. Pertama, media sosial memungkinkan kelompok teror untuk melakukan tindakannya secara lebih bebas. Kebebasan bagi siapapun untuk beraktivitas di media sosial dan minimnya pembatasan menjadikan kelompok teror bisa menyebarkan pesan apapun yang sesuai dengan kepentingan mereka. Di dunia nyata, kebebasan dalam menyebarkan propaganda ini tentu tidak bisa mereka dapatkan karena adanya otoritas keamanan yang mampu membatasi dan menindak aktivitas kelompok teror dengan lebih cepat.[1]

Kedua, media sosial mampu menyembunyikan identitas sebenarnya dari para pelaku teror. Anonimitas yang ditawarkan media sosial menjadikan kelompok teroris lebih berani untuk membagikan pesan yang lebih vulgar karena mereka lebih sulit diidentifikasi oleh pihak keamanan. Pesan yang semakin vulgar  kemudian meningkatkan potensi bergabungnya para calon anggota maupun simpatisan.[2]

Selain itu, media sosial menjadikan informasi dan opini yang disebarkan oleh kelompok teroris, calon anggota, dan simpatisan lebih didengar dan mendapatkan validasi karena identitas yang mereka miliki (e.g. ras, etnis, tingkat kekayaan, dan jenis kelamin) tidak diperlihatkan. Di dunia nyata, informasi dan opini seringkali dipandang tidak valid oleh orang lain karena semata-mata identitas dari penyampainya. Bagi calon anggota dan simpatisan, validasi yang didapat melalui aktivitas kelompok teroris di media sosial menumbuhkan dan menguatkan rasa kepemilikan mereka terhadap kelompok teroris.[3]

Ketiga, media sosial menjadikan kelompok teror dapat berinteraksi dengan lebih banyak calon anggota dan simpatisan. Media sosial merupakan salah satu produk digital yang paling populer. Popularitas ini menjadikan propaganda kelompok teroris yang disebarkan melalui media sosial dapat mencapai lebih banyak audiens di seluruh belahan dunia.

Tidak hanya itu, kelompok teroris juga dapat menjadi lebih interaktif dengan para calon pendukung maupun simpatisannya berkat adanya media sosial. Penggunaan media sosial memungkinkan anggota kelompok teroris, calon anggota, dan simpatisan untuk saling membagikan, berkolaborasi dalam membuat, mendiskusikan, dan memodifikasi konten propaganda.[4]

Dampaknya, interaksi yang dibangun antara kelompok teroris dengan calon anggotanya dan simpatisannya dapat menjadi lebih intens. Interaksi yang semakin intensif mengakibatkan algoritma di media sosial membentuk echo-chamber. Echo-chamber sendiri merujuk kepada suatu lingkungan sosial yang hanya memungkinkan seseorang berinteraksi dengan mereka yang beropini sama dan menghindarkan dia berkonfrontasi dengan mereka yang beropini berbeda. Keberadaan echo-chamber ini yang semakin meradikalisasi calon anggota dan simpatisan kelompok teroris.[5]

Kelompok teroris dapat menjadi lebih interaktif dengan para calon pendukung maupun simpatisannya berkat adanya media sosial. Interaksi yang semakin intensif mengakibatkan algoritma di media sosial membentuk echo-chamber, yaitu suatu lingkungan sosial yang hanya memungkinkan seseorang berinteraksi dengan mereka yang beropini sama dan menghindarkan dia berkonfrontasi dengan mereka yang beropini berbeda.

Penggunaan Media Sosial oleh Kelompok Teroris

Teroris memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi-informasi yang berkaitan dengan aktivitas kelompok mereka. Jenis Informasi pertama adalah propaganda mengenai justifikasi-justifikasi kelompok teroris dalam melakukan kekerasan. Propaganda sendiri merupakan jenis informasi yang paling banyak disebarkan oleh kelompok teroris di media sosial.[6]

Dengan tujuan untuk meradikalisasi calon anggota dan simpatisan, kelompok teroris mendasari propaganda mereka dengan berita palsu, misinformasi, rumor, maupun berita yang kebenarannya tidak disampaikan secara utuh. Gabriel Weimann menyebutkan bahwa penyebaran propaganda dalam radikalisasi calon anggota dan simpatisan dapat dibagi menjadi dua fase yakni ‘net phase’ dan ‘funnel phase’.

Net Phase merupakan fase pertama berupa proses penyebaran propaganda secara masif dan sporadis dalam bentuk rekaman video, audio, dan gambar. Pada fase ini, seluruh pengguna media sosial dianggap sebagai individu yang sama-sama berpotensi untuk menyetujui propaganda yang disebarkan kelompok teroris. Kemudian, setelah propaganda tersebut menerima respon dari pengguna media sosial, kelompok teroris akan melakukan pendekatan terhadap mereka yang memberikan respon positif sehingga dimulailah fase kedua yaitu funnel phase.

Pada funnel phase, kelompok teroris berusaha untuk menciptakan ikatan yang lebih personal dengan calon anggota maupun simpatisannya. Personalisasi ini dapat dilihat dari konten propaganda yang menyesuaikan penyebab-penyebab dari kekecewaan, rasa kesepian, dan rasa pesimisme terhadap diri sendiri milik target. Peningkatan pesat jumlah anggota ISIS pada tahun 2014 merupakan dampak dari penerapan dua strategi kampanye media sosial tersebut.[7]

Jenis informasi kedua yang disebarkan kelompok teroris melalui media sosial adalah tentang penggalangan dana. Crowdfunding melalui media sosial kini menjadi salah satu sumber pendanaan paling populer bagi kelompok teroris.[8] Contohnya dapat dilihat dari kampanye crowdfunding bertajuk Jahed Bimalek (Berjihad dengan Uang). Uang yang diperoleh dari Jahed Bimalek ini kemudian digunakan untuk membeli persenjataan. Kampanye ini mulai disebarkan pada tahun 2014 oleh Jabhat Al-Nusra, cabang dari Al-Qaeda di Suriah. Ajakan untuk berdonasi di Jahed Bimalek disebarkan melalui aplikasi WhatsApp dan Telegram dengan aplikasi terakhir merupakan aplikasi yang lebih sering digunakan.

Maraknya penggunaan Telegram disebabkan adanya fitur secret chat di aplikasi tersebut. Melalui fitur secret chat, obrolan anggota Jabhat Al-Nusra dan donor tidak akan tersimpan di server Telegram dan setelah beberapa hari seluruh riwayat obrolan akan terhapus secara otomatis. Riwayat obrolan pun tidak dapat diteruskan ke pihak lain tanpa adanya persetujuan dari kedua pihak yang melakukan obrolan.[9]

Upaya Pemberantasan Terorisme di Media Sosial

Pemberantasan terorisme di media sosial mau tidak mau harus melibatkan upaya-upaya koersif mulai dari penghapusan paksa seluruh postingan yang berkaitan dengan aksi kelompok teroris sampai dengan menindak secara hukum mereka yang membuat dan menyebarkannya di media sosial. Bagaimanapun, upaya koersif dalam memberantas terorisme harus dilakukan dengan prosedur yang ketat agar tidak mencederai kebebasan berekspresi masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini dapat menjadikan Rabat Plan of Action (RPoA) sebagai rujukan. RPoA sendiri merupakan sebuah pedoman internasional bagi pemerintah dalam menghentikan produksi dan diseminasi ujaran kebencian terhadap kebangsaan, ras, dan agama tertentu. Dalam menentukan suatu postingan atau akun media sosial sudah memproduksi dan mendiseminasi ujaran kebencian, yang sering dilakukan oleh kelompok teroris, pemerintah perlu berpedoman kepada enam poin RPoA.

Pertama, pemerintah perlu memperhatikan konteks sosio-politik yang ada ketika ujaran kebencian dikeluarkan. Kedua, pemerintah perlu memperhatikan posisi dan status dari sang pembicara ujaran kebencian. Ketiga, pemerintah perlu memperhatikan niat yang dimiliki pembicara ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok tertentu.

Keempat, pemerintah perlu memperhatikan konten dan bentuk pernyataan-pernyataan ujaran kebencian. Kelima, pemerintah perlu memperhatikan skala cakupan dari ujaran kebencian. Terakhir, pemerintah perlu memperhatikan apakah ujaran kebencian memiliki potensi untuk melukai kelompok target dari ujaran kebencian.

Referensi

[1] Weimann, G. (2010). Terror on Facebook, Twitter, and Youtube. The Brown Journal of World Affairs, 16(2), 45–54. http://www.jstor.org/stable/24590908

[2] Zhou, Y., Qin, J., Lai, G., & Chen, H. (2007, January). Collection of us extremist online forums: A web mining approach. In System Sciences, 2007. HICSS 2007. 40th Annual Hawaii International Conference on, 70-70, IEEE.

[3] Gill, P., Horgan, J., and Deckert, P. (2014). ‘Bombing Alone: Tracing the Motivations and Antecedent Behaviors of Lone-Actor Terrorists’. Journal of Forensic Sciences 59(2): 425-435

[4] Weimann, G. (2015). Terrorist Migration to Social Media. Georgetown Journal of International Affairs, 16(1), 180–187. http://www.jstor.org/stable/43773679

[5] Awan, I. (2016). Islamophobia on social media: A qualitative analysis of the Facebook's walls of hate. International Journal of Cyber Criminology, 10(1).

[6] Gill, P., Corner, E., Conway, M., Thornton, A., Bloom, M. and Horgan, J. (2017), Terrorist Use of the Internet by the Numbers. Criminology & Public Policy, 16: 99-117

[7] Weimann, G. (2015). Terrorist Migration to Social Media. Georgetown Journal of International Affairs, 16(1), 180–187. http://www.jstor.org/stable/43773679

[8] Islamic State using social media as crowdfunding platform for terrorist activities, expert warns. (2015, November 16). ABC. Retrieved July 28, 2022, from https://www.abc.net.au/news/2015-11-17/is-using-social-media-to-crowdfund-terrorist-activities/6948374

[9] Normark, M. & Ronstop, M. (2015). Understanding Terrorist Finance: Modus Operandi and National CTF-Regime. Sweden Defense University

RadikalismeMedia SosialTerorisme

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru