Transformasi digital sudah mencakup seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok teroris. Hal ini dapat dilihat dari kelompok-kelompok teroris yang kini melibatkan penggunaan media sosial untuk melakukan operasinya. Aksi teror penabrakan Charlottesville yang dilakukan oleh anggota kelompok Neo-Nazi di Amerika Serikat difasilitasi oleh algoritma media sosial seperti 4chan dan Reddit. Di Indonesia, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS memanfaatkan facebook, twitter, youtube, WhatsApp, dan Telegram untuk merekrut kombatan dan mengadakan penggalangan dana.
Penggunaan media sosial oleh kelompok terorisme tentu menjadi tantangan baru bagi pemerintah dalam mendorong transformasi digital. Agar tindak terorisme yang difasilitasi transformasi digital dapat diminimalisasi, pemerintah perlu mengetahui bagaimana media sosial berkontribusi terhadap aksi kelompok teroris dan bagaimana media sosial digunakan oleh mereka.
Kontribusi Media Sosial terhadap Aksi Kelompok Teroris
Dekade belakangan, media sosial kerap disebut memiliki kontribusi besar terhadap aksi-aksi kelompok teror. Pertama, media sosial memungkinkan kelompok teror untuk melakukan tindakannya secara lebih bebas. Kebebasan bagi siapapun untuk beraktivitas di media sosial dan minimnya pembatasan menjadikan kelompok teror bisa menyebarkan pesan apapun yang sesuai dengan kepentingan mereka. Di dunia nyata, kebebasan dalam menyebarkan propaganda ini tentu tidak bisa mereka dapatkan karena adanya otoritas keamanan yang mampu membatasi dan menindak aktivitas kelompok teror dengan lebih cepat.[1]
Kedua, media sosial mampu menyembunyikan identitas sebenarnya dari para pelaku teror. Anonimitas yang ditawarkan media sosial menjadikan kelompok teroris lebih berani untuk membagikan pesan yang lebih vulgar karena mereka lebih sulit diidentifikasi oleh pihak keamanan. Pesan yang semakin vulgar kemudian meningkatkan potensi bergabungnya para calon anggota maupun simpatisan.[2]
Selain itu, media sosial menjadikan informasi dan opini yang disebarkan oleh kelompok teroris, calon anggota, dan simpatisan lebih didengar dan mendapatkan validasi karena identitas yang mereka miliki (e.g. ras, etnis, tingkat kekayaan, dan jenis kelamin) tidak diperlihatkan. Di dunia nyata, informasi dan opini seringkali dipandang tidak valid oleh orang lain karena semata-mata identitas dari penyampainya. Bagi calon anggota dan simpatisan, validasi yang didapat melalui aktivitas kelompok teroris di media sosial menumbuhkan dan menguatkan rasa kepemilikan mereka terhadap kelompok teroris.[3]
Ketiga, media sosial menjadikan kelompok teror dapat berinteraksi dengan lebih banyak calon anggota dan simpatisan. Media sosial merupakan salah satu produk digital yang paling populer. Popularitas ini menjadikan propaganda kelompok teroris yang disebarkan melalui media sosial dapat mencapai lebih banyak audiens di seluruh belahan dunia.
Tidak hanya itu, kelompok teroris juga dapat menjadi lebih interaktif dengan para calon pendukung maupun simpatisannya berkat adanya media sosial. Penggunaan media sosial memungkinkan anggota kelompok teroris, calon anggota, dan simpatisan untuk saling membagikan, berkolaborasi dalam membuat, mendiskusikan, dan memodifikasi konten propaganda.[4]
Dampaknya, interaksi yang dibangun antara kelompok teroris dengan calon anggotanya dan simpatisannya dapat menjadi lebih intens. Interaksi yang semakin intensif mengakibatkan algoritma di media sosial membentuk echo-chamber. Echo-chamber sendiri merujuk kepada suatu lingkungan sosial yang hanya memungkinkan seseorang berinteraksi dengan mereka yang beropini sama dan menghindarkan dia berkonfrontasi dengan mereka yang beropini berbeda. Keberadaan echo-chamber ini yang semakin meradikalisasi calon anggota dan simpatisan kelompok teroris.[5]