Baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluhkan banyaknya aplikasi yang digunakan Kementerian/Lembaga (K/L). Terdapat lebih dari 24.400 aplikasi yang tersebar di satuan kerja pemerintahan dan setiap K/L memiliki databasenya sendiri-sendiri. Lebih parahnya lagi, hanya 3% aplikasi yang memiliki standar global atau yang memanfaatkan cloud, selebihnya tergolong ethernet dan bekerja masing-masing. Akibatnya, aplikasi yang ditujukan untuk operasional dan administrasi pemerintahan justru menciptakan ketidakefisienan hingga pemborosan anggaran. Selain itu, banyaknya aplikasi juga rentan terhadap serangan siber dan pencurian data pribadi, sebagaimana kasus bocornya data e-HAC Kemenkes pada tahun lalu dimana sistem tersebut sudah tidak digunakan namun tidak segera di-takedown.[1]
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kemkominfo mencanangkan pembentukan superapp sebagai layanan publik terpadu yang dimuat dalam satu aplikasi. Hadirnya superapp bertujuan untuk memudahkan komunikasi lintas K/L yang terintegrasi dalam satu sistem dan mencegah adanya duplikasi aplikasi sejenis dari berbagai K/L.[2] Jika superapp berhasil dikembangkan maka satu per satu aplikasi milik Pemerintah akan dihapuskan dan secara tidak langsung akan memangkas biaya yang telah dikeluarkan, bahkan hingga puluhan triliun.
Namun perlu diingat jika Pemerintah ingin mewujudkan superapp yang adaptif maka mereka harus memastikan bahwa keamanan siber berjalan optimal, baik dari segi sistem, jaringan, maupun aplikasi. Di sisi lain, superapp juga memerlukan pusat data nasional yang akan menjadi server utama guna mengolah seluruh data yang masuk, terutama data kependudukan. Pembangunan pusat data pun harus berbasiskan tiga hal, yakni: ketersediaan kapasitas listrik yang memadai, koneksi fiber optik, dan cooling water system.[3]
Pentingnya Superapp dalam Mengatasi Ego Sektoral
Pemaparan di atas menandakan bahwa elemen pemerintahan di Indonesia masih terjebak dalam lingkaran ego sektoral. Hal tersebut turut diperparah dengan buruknya pola kepemimpinan, dimana perubahan komposisi pejabat negara bisa menyebabkan pergantian aplikasi yang telah diciptakan sehingga semakin sulit untuk menyelaraskan data masing-masing K/L. Perlu diingat kalau saat ini masyarakat tidak peduli dengan banyaknya aplikasi, mereka menginginkan satu superapp yang terintegrasi pada satu sistem yang sama.
Pengembangan superapp diharapkan dapat menjadi katalis bagi Pemerintah untuk mengintegrasikan layanan publik sehingga dapat mengurangi ego sektoral tiap K/L dan yang terpenting adalah untuk memudahkan masyarakat. Tidak hanya itu, Presiden juga dapat membentuk badan yang berfungsi sebagai software factory/house-nya Pemerintah. Badan ini bertugas untuk menyediakan perangkat lunak (software) yang bisa digunakan seluruh instansi, mulai dari pemerintahan level daerah hingga pusat.[4] Karenanya transformasi digital akan dianggap berhasil apabila pemerintah berhasil membuat siklus masyarakat Indonesia bisa diakses dari satu titik yang mudah dan bisa menyederhanakan kompleksitas menjadi suatu integrasi yang kolaboratif.