Transformasi digital tidak serta-merta mengubah kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Bagaimanapun, keberadaannya sudah memberikan manusia sebuah cara baru dalam berkomunikasi. Kemampuan media sosial dalam menghubungkan penggunanya ke jutaan pengguna lain dan keragaman fitur-fitur interaksinya merupakan contoh kebaruannya. Inovasi media sosial tersebut akhirnya turut mengundang para pelaku kriminal untuk memanfaatkannya. Contohnya dapat dilihat pada kasus Diskon Kacamata Ray Ban.
Pada tahun 2021 silam, ribuan akun-akun palsu membuat cuitan di twitter berisi tawaran diskon sebesar 90% untuk pembelian kaca mata Ray Ban yang cara memperolehnya cukup dengan membuka tautan terlampir di cuitan-cuitan tersebut. Alih-alih potongan harga, para pengguna twitter yang membuka tautan tersebut justru mendapatkan malware.[1] Malware sendiri adalah perangkat lunak yang ketika terpasang dalam suatu gawai dapat mengganggu jalannya gawai tersebut dan kemudian ia akan mengambil data-data pribadi pengguna yang tersimpan di dalamnya.
Dampak yang dirasakan korban kejahatan siber hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya. McAfee menaksir bahwa pada tahun 2021 saja total kerugian yang dialami korban kejahatan kriminal di seluruh dunia mencapai $945 miliar atau sekitar 1% dari produk domestik bruto global. Jumlah tersebut jauh lebih besar apabila dibanding dengan tahun 2018 yang mencapai $600 miliar. Perpindahan aktivitas yang menjadi serba digital selama pandemi merupakan salah satu faktor penyebab peningkatan tersebut.[2]
Selain kerugian finansial, korban kejahatan siber juga mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, rasa malu yang luar biasa, rasa berdosa, dan trauma masa lalu yang kembali muncul.[3] Bahkan, kejahatan siber juga mampu mengancam jutaan nyawa seperti yang terjadi di Irlandia pada Desember 2021 silam. Layanan kesehatan digital Irlandia sempat diserang malware yang mengakibatkan sistem pelayanan kesehatan negara tersebut berjalan setengah lumpuh selama empat bulan.[4]
Kejahatan Siber di Media Sosial
Salah satu bentuk kejahatan siber yang paling sering terjadi di media sosial adalah penyebaran malware. Terdapat enam saluran yang digunakan malware untuk masuk ke dalam gawai pengguna media sosial yaitu melalui iklan yang sudah terinfeksi, plugin dan aplikasi tambahan media sosial (e.g. gim Facebook dan tes kepribadian), notifikasi post yang menandai akun target, unduhan otomatis melalui situs-situs yang tautannya berasal dari media sosial, tautan foto dan video lucu, dan phising–pelaku kriminal akan menyamar menjadi akun resmi tertentu (e.g. bank) dan meminta calon korban untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berujung kepada pencurian data pribadi korban.
Data-data pribadi tersebut digunakan mulai dari untuk menyengsarakan korban secara personal maupun, yang paling sering, untuk diperjualbelikan.[5]
Selain pencurian data pribadi melalui infeksi malware, media sosial juga menjadi sarana untuk kejahatan tradisional. Beberapa di antaranya adalah pencucian uang, jual-beli narkoba, penipuan–yang paling sering adalah penipuan berkedok asmara (romance scam), dan kejahatan kebencian. Di kasus pencucian uang, media sosial sering digunakan untuk merekrut orang-orang yang bersedia untuk menjadi pemilik mule account–akun bank yang digunakan untuk menerima dan mengedarkan uang hasil tindak kriminal.[6]