Pemerintahan | Inisiatif dan Pembangunan

Pendidikan Kewargaan Digital di Sekolah: Manfaat dan Strategi Penerapan

Mukti Tama P. / Amelinda Pandu 17 Agu 2022. 6 min.

Interaksi manusia dengan lingkungan sosial dan politik semakin banyak difasilitasi oleh infrastruktur digital. Platform dan aplikasi digital menjadi medium penting bagi manusia untuk dapat berpartisipasi di masyarakat.

Sebagai contoh, (1) terjadinya partisipasi politik melalui perdebatan di media sosial dan kampanye daring; (2) akses pelayanan publik yang membutuhkan interaksi daring antara pemerintah dan warga negara, selaras dengan hubungan antara penyedia swasta dan konsumen; (3) munculnya komunikasi lintas-batas negara akibat hadirnya berbagai produk digital yang mempengaruhi aktivitas manusia.Kini, aktivitas kultural cenderung melibatkan pertukaran media sosial dan aktivitas transaksi bisnis cenderung dimediasi oleh platform ekonomi.

Oleh karena itu,  saat ini dependensi manusia tidak hanya terikat dengan manusia lain, namun juga terhadap media digital yang memfasilitasinya.

Kewargaan digital kemudian muncul untuk menyikapi fenomena-fenomena tersebut. Sebagai sebuah konsep, kewargaan digital adalah seperangkat norma mengenai perilaku atau sikap yang pantas dan bertanggung jawab ketika menggunakan teknologi digital. Definisi tersebut cukup menjadi alasan untuk menjadikan kewargaan digital sebagai bahan ajar di sekolah.  Maka dari itu, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari Pendidikan Kewargaan Digital (PKD). 

Etika digital dalam PKD memiliki tujuan besar untuk menunjukkan kepada peserta didik bahwa segala sesuatu yang mereka bagikan di internet dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, bahkan keselamatan jiwa-raga dari orang tersebut. — Ribble, M. (2012)

Mengapa PKD Penting?

PKD menjadi faktor penting karena mampu menjadi salah satu solusi bagi tiga permasalahan sosial yang muncul akibat transformasi digital di Indonesia. Permasalahan pertama yaitu ujaran kebencian di internet melalui media sosial, terutama di Twitter ketika periode pemilihan umum berlangsung. Ketika pemilihan umum (Pemilu) 2019 silam, sebutan  makhluk non-manusia seperti ‘cebong’ yang disematkan ke pendukung Jokowi-Ma'ruf dan ‘Kampret’ yang disematkan ke pendukung Prabowo-Sandiaga bertebaran secara masif di Twitter. Drone Emprit mencatat terdapat lebih dari 400 ribu cuitan yang mengandung sebutan ‘cebong’ dan ‘kampret’ selama periode Pilpres. [1]

Selain dua julukan dehumanisasi tersebut,  terdapat cuitan-cuitan bertemakan Pemilu 2019 yang juga mengandung muatan anti-Tionghoa [2], anti-Kristen, Islamophobia [3], dan berita bohong atau hoaks.[4] Sebagai solusi atas lazimnya ujaran kebencian di internet, PKD diharapkan mampu menanamkan nilai etika digital bagi peserta didik.

Menurut Ribble, etika digital dalam PKD memiliki tujuan besar untuk  menunjukkan kepada peserta didik bahwa segala sesuatu yang mereka bagikan di internet dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, bahkan keselamatan jiwa-raga dari orang tersebut.[5] Etika digital akan mengajarkan kepada peserta didik bahwa ujaran kebencian–yang kerap dilandasi dengan kebohongan–merupakan awal mula dari penyerangan, penganiayaan, dan pembunuhan yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok tertentu. [6]

Permasalahan kedua yaitu maraknya ancaman siber yang dilihat dari buruknya performa keamanan siber di Indonesia. Menurut National Cyber Security Index (NCSI), indeks keamanan Indonesia berada di angka 38,96 dari 100, sehingga menempatkan Indonesia di peringkat 84 dari 160 negara yang dinilai, berada di bawah Malaysia. [7] Pada paruh awal tahun 2022, Kaspersky mencatat terdapat 11 juta serangan siber yang melanda Indonesia.[8]

Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar kegiatan digitalnya dilakukan di media sosial,[9] ancaman siber menjadi ancaman yang nyata karena 80% serangan siber difasilitasi oleh media sosial.[10] Oleh karena itu, PKD berusaha membentengi masyarakat dari serangan siber melalui pengajaran digital security.

Secara garis besar, digital security akan mengajarkan peserta didik mengenai potensi ancaman siber yang dapat muncul melalui penggunaan internet sehari-hari. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai upaya pencegahan, termasuk adanya pemberian batasan terhadap informasi pribadi apa saja yang bisa dibagikan di internet secara luas.[11]

Ketidakcocokan antara kebutuhan atas pekerja cakap digital di dunia industri dan kemampuan digital tenaga kerja yang rendah merupakan masalah terakhir. Laporan Smeru menyebutkan bahwa sebagian besar perusahaan dan startup digital di Indonesia harus merekrut tenaga kerja asing.[12] Tenaga kerja di Indonesia yang lebih dari 50% merupakan pekerja dengan kemampuan digital dasar dan hanya 1% saja yang memiliki kemampuan digital tingkat tinggi menjadi penyebab atas fenomena outsourcing ini.[13]

Minimnya tenaga kerja dengan kemampuan digital tingkat tinggi disebabkan oleh terkonsentrasinya pendidikan kecakapan digital hanya di tingkat pendidikan tinggi saja.[14] Oleh karena itu, PKD hadir untuk memperluas cakupan pendidikan kecakapan digital dengan turut melibatkan peserta didik di tingkat pendidikan yang lebih rendah. Melalui PKD, peserta didik akan diajarkan untuk menggunakan teknologi digital secara mumpuni sehingga mampu memenuhi kebutuhan industri.[15]

Berdasarkan pemaparan di atas, PKD menjadi semakin penting dikarenakan gencaran transformasi digital Pemerintah perlu menerapkan PKD di seluruh tingkatan sekolah, mulai dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah akhir (SMA). Tentunya tingkat kesulitan dari pembelajaran yang diberikan harus bersifat kontekstual berdasarkan kondisi dari daerah yang akan diterapkan PKD. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat gap digital dengan basis kawasan masih menjadi bagian dari lanskap digital di Indonesia.

Referensi

[1] Fahmi, I. (2022, July 17). Tren dan popularitas seutan cebong, kampret, buzerp, dan kadrun. Drone Emprit Publications. Retrieved from https://pers.droneemprit.id/tren-dan-popularitas-sebutancebong-kampret-buzerp-dan-kadrun/

[2] Suryahudaya, E, G. (2022). Hate speech against Chinese-Indonesian 2019-2020 (Policy Brief). Retrieved from Centre for Strategic and International Studies website: https://www.csis.or.id/publications/hate-speech-against-chinese-indonesians-2019-2020

[3] Kastolani, K. (2020). Understanding the delivery of Islamophobic hate speech via social media in Indonesia. Indonesian Journal of Muslim and Islamic Society. 10(2), 247-270. doi: 10.18326/ijims.v10i2 

[4] Hui, J. Y. (2020). Social media and the 2019 Indonesian elections: Hoax takes the centre stage.. Southeast Asian Affairs, 155-172. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/26938889

[5] Ribble, M. (2012). Digital citizenship for educational change. Kappa Delta Pi Record, 48(4), 148-151. doi: 10.1080/00228958.2012.734015

[6] Laub, Z. (2019, June 7). Hate speech on social media: Global comparisons. Council on Foreign Relations. Retrieved from https://www.cfr.org/backgrounder/hate-speech-social-media-global-comparisons

[7] NCSI. (n.d.). National Cyber Security Index - By Countries. NCSI. Retrieved from https://ncsi.ega.ee/ncsi-index/?order=rank

[8] Andarningtyas, N., Suharto. . (2022, April 27). Indonesia faces 11 mln cyber attacks in 2022 first quarter. ANTARA News. Retrieved from https://en.antaranews.com/news/227061/indonesia-faces-11-mln-cyber-attacks-in-2022-first-quarter

[9] Nurhayati-Wolff, H. (2021, May 20). Internet usage in Indonesia - statistics & facts. Statista. Retrieved from https://www.statista.com/topics/2431/internet-usage-in-indonesia/#topicHeader__wrapper

[10] Cveticanin, N. (2022, October 4). Hacking statistics to give you nightmares. DataProt. Retrieved from https://dataprot.net/statistics/hacking-statistics/

[11] Ribble, M. (2012). Digital citizenship for educational change. Kappa Delta Pi Record, 48(4), 148-151. doi: 10.1080/00228958.2012.734015

[12] The SMERU Research Institute. (2022). Diagnostic report: Digital landscape in Indonesia (Partnership Research Report). Retrieved from The SMERU Research Institute website: https://smeru.or.id/en/publication/diagnostic-report-digital-skills-landscape-indonesia

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ribble, M. (2012). Digital citizenship for educational change. Kappa Delta Pi Record, 48(4), 148-151. doi: 10.1080/00228958.2012.734015

Kewargaan DigitalPendidikanToleransiLiterasi Digital

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru