Ancaman krisis pangan dunia terjadi ketika pandemi Covid-19 dan perang antara Rusia-Ukraina yang hingga kini belum terlihat titik terang penyelesaian, perang menyebabkan lonjakan harga pangan akibat rusaknya rantai pasok pangan global. 

Indonesia yang saat ini masih mengimpor bahan pangan seperti terigu, kedelai, impor jagung terus berkurang karena pembinaan terhadap petani jagung. Dengan wilayah pertanian yang luas, dan dukungan pembinaan, sebenarnya Indonesia mampu menyediakan pangan secara swasembada.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia menargetkan potensi ekonomi digital Indonesia mencapai Rp 4.500 triliun. Saat ini, pemerintah tengah memperbaiki regulasi agar Indonesia tidak hanya menjadi market dunia tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk dunia. Untuk itu, pemerintah sangat mendorong startup untuk dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dengan cara penyelesaian isu-isu logistik yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Kemajuan teknologi kini merambah pada sektor pertanian. Digitalisasi pertanian digadang-gadang mampu jadi solusi swasembada pangan dan generasi petani milenial menjadi salah satu sumber daya manusia (SDM) yang perlu dipersiapkan sebagai kuncinya. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk memajukan sektor pertanian di era 4.0. Pertama, membangun learning center bagi para petani di daerah. Kedua, mempersiapkan generasi-generasi baru petani.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan hingga Agustus 2022, ekspor pertanian tahun ini sudah mencapai US$ 3,05 miliar. Khusus Agustus, sektor pertanian juga disebut mengalami peningkatan. Ekspor pertanian membukukan transaksi senilai US$ 450 juta. Apabila dihitung secara bulanan (month to month/mtm) Agustus 2022 terhadap Juli 2022, ekspor pertanian meningkat 16,99%. Sementara secara tahunan (year on year/yoy) juga mengalami kenaikan 31,17%. Pertanian merupakan sektor yang paling bertahan dalam masa pandemi Covid-19, dengan tumbuh sebesar 16,24% disaat sektor lain mengalami penurunan. 

Potensi ekspor tersebut sangat bisa didukung dengan pemanfaatan industri agritech agar sektor pertanian bisa lebih berkembang, dengan begitu diharapkan tercipta swasembada pangan Indonesia. Namun, perlu dukungan berbagai pihak. Salah satu yang digencarkan adalah kerja sama antara agritech Greens dengan perusahaan teknologi asal Uni Emirat Arab (UEA) E-Tech Holding Company dalam mendukung ketahanan pangan kedua negara. Greens berkomitmen melahirkan inovasi di bidang teknologi agrikultur seperti meta farming atau pertanian virtual yang dapat diikuti oleh setiap orang dan memampukan setiap orang untuk dapat menikmati hasil panennya sendiri walau tinggal di kota besar.

Untuk itu, Greens menciptakan inovasi teknologi agrikultur berbentuk pod (Greens pod) yang memanfaatkan sistem penanaman dalam ruangan, Blockchain, Artificial Intelligence (Al), dan Internet of Things (IOT) untuk menciptakan desentralisasi sumber pangan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Selain Greens, Indonesia juga memiliki agritech TaniHub Group, yang didirikan dari sebuah mimpi untuk mensejahterakan para petani kecil, TaniHub Group melalui unit bisnisnya, yaitu TaniHub, TaniHub Food Solutions, TaniFund, TaniSupply, TaniFoundation, dan Tani Mitra Koperasi hingga hari ini terus berusaha mewujudkan ekosistem pertanian yang lebih baik. Teknologi pertanian terintegrasi, e-commerce, platform pendanaan, dan infrastruktur rantai pasokan. Dengan pendekatan teknologi, TaniHub Group mendukung penyelesaian tiga masalah utama pertanian, yakni akses pasar, akses modal, dan akses persediaan.

Timur Tengah Dorong Swasembada Pangan

Tak hanya di Indonesia, negara-negara Timur Tengah juga terus mendorong swasembada pangan sebagai salah satu prioritas utama. Hal ini disebabkan anjloknya impor gandung akibat perang Rusia-Ukraina. Seperti Lebanon yang lahan produksi gandumnya mencakup 50 ribu hektare, sedangkan untuk memasok cukup pangan bagi 6,5 juta penduduk dibutuhkan 180 ribu hektare. Sehingga, memang masih dibutuhkan perubahan ekonomi dan struktural sebelum lebih banyak bantuan keuangan bisa datang dari Bank Dunia atau IMF. 

Mesir, sebagai negara terpadat di Timur Tengah dengan 102 juta penduduk juga menghadapi masalah dengan pasokan gandum akibat perang Rusia-Ukraina. Penduduk Mesir tahun 2022 diperkirakan akan mengonsumsi sekitar 20 juta ton, tapi produksi dalam negeri hanya 10 juta ton per tahun, sisanya impor dari Rusia dan Ukraina.

Perusahaan agritech Pure Harvest yang berbasis di Abu Dhabi saat ini dipandang sebagai pelopor. Pure Harvest menanam produk menggunakan hidroponik yang memungkinkan tanaman tumbuh di atas larutan nutrisi mineral, bukan pertanian di atas tanah. Teknik ini dipandang sebagai solusi inovatif untuk kawasan gurun seperti di Timur Tengah. Pada 2020, Wafra International Investment Company Kuwait menginvestasikan US$ 100 juta, ini merupakan komitmen yang terbesar untuk sebuah perusahaan agritech di Timur Tengah.