Kesenjangan digital masih menjadi tantangan yang dihadapi Indonesia dalam akselerasi transformasi digital. Pasalnya, konektivitas jaringan internet yang digadang-gadang sebagai tulang punggung transformasi digital saja masih belum merata persebarannya, khususnya di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Paket kebijakan Pemerintah untuk mempercepat penetrasi internet pun belum mampu mengurangi kesenjangan digital. Alhasil, wilayah-wilayah di pelosok atau pedalaman banyak yang belum tersentuh akses internet sehingga mengakibatkan jurang kesenjangan digital semakin lebar dan menghambat kesempatan masyarakat untuk mengakses maupun menggunakan TIK.
Saat ini saja, terdapat 83.458 desa di wilayah 3T yang belum tersentuh akses internet 4G. Hal tersebut diperparah dengan laporan Ombudsman RI yang mengungkap sejumlah masalah dari implementasi penyediaan akses internet di wilayah 3T, seperti: kurangnya koordinasi Kemkominfo dengan pemerintah setempat, keluhan lemahnya jaringan, ketidaksesuaian hasil skoring dan verifikasi, serta kurangnya kompetensi PIC di lapangan.[1]
Pada titik ini, tentu kita tidak menginginkan penggunaan internet yang bersifat elitis dan bertolak belakang dengan filosofi dasarnya yang mengutamakan kesetaraan digital. Karenanya, penting bagi Pemerintah maupun elemen masyarakat sipil untuk mempersempit jurang kesenjangan digital di Indonesia sehingga masyarakat dapat memperoleh informasi dan pengetahuan secara adil dan merata.