Pemerintahan | Kepentingan Publik

Optimalisasi Pelayanan Berbasis Teknologi untuk Penanganan Kasus Stunting

Anggita Utomo / Amelinda Pandu 14 Jun 2022. 5 min.

Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat sehingga anak balita (di bawah 5 tahun) yang terkena stunting memiliki tubuh yang pendek.[1] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan anak balita menderita stunting bila tinggi badannya dibawah minus 2 Standar Deviasi. Stunting memiliki dampak jangka panjang,anak penderita stunting akan tumbuh secara tidak optimal sampai dewasa sehingga mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup di masa tua. 

Lalu, bagaimana keadaan stunting di Indonesia? Pada tahun 2018, 3 dari 10 anak balita di Indonesia mengalami insiden stunting. Persentase ini masih cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia menempati peringkat kedua dengan jumlah persentase stunting tertinggi, setelah Timor Leste. Selain itu, angka ini juga masih jauh di atas target Indonesia, yaitu sebesar 14 persen.[2] Maka dari itu, penting untuk melakukan penyusunan regulasi, khususnya pada sektor kesehatan, untuk menangani kasus stunting di Indonesia.

Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, khususnya dalam mengurangi persentase stunting,  banyak penelitian menyatakan pentingnya memprioritaskan prinsip kesinambungan perawatan.[3] Artinya, ibu yang memiliki anak disarankan memantau kesehatannya dan juga kesehatan anaknya terus menerus, bahkan sejak anak masih berbentuk janin.

Namun, pelayanan kesehatan primer—fasilitas kesehatan yang paling mudah diakses seperti Pusat Kesehatan Masyarakat Pusat (Puskesmas), dokter umum, dan klinik—umumnya tidak memiliki pencatatan data pasien yang baik, sehingga proses pemantauan kesehatan yang komprehensif tidak dapat berjalan. Lalu, bagaimana cara pemanfaatan teknologi digital secara optimal pada sektor kesehatan di Indonesia?

Tantangan Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Digital di Sektor Kesehatan

Pemanfaatan teknologi digital di sektor kesehatan sudah diterapkan di Indonesia. Contohnya seperti pemanfaatan aplikasi daring SIMPUS atau SIMPUSKESMAS. Mengutip dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI), SIMPUS merupakan suatu tatanan atau peralatan yang menyediakan informasi untuk membantu proses manajemen puskesmas dalam mencapai sasaran kegiatannya.[4]

Aplikasi daring SIMPUS dirilis untuk membantu pekerja mencatat dan melaksanakan manajemen puskesmas secara lebih cepat, akurat, dan praktis dibandingkan dengan pencatatan tradisional. Alhasil, pekerja kesehatan dapat melakukan pencatatan data pasien secara daring dan berkala. Namun, sayangnya, pemanfaatan dari  pencatatan data melalui aplikasi tersebut belum optimal. 

Menurut Kementerian Kesehatan, kekurangan utama dalam pencatatan data yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan primer dan sekunder adalah integrasinya.[5] Penggunaan aplikasi daring—seperti SIMPUS—merupakan hasil kebijakan dan swadaya dari masing-masing fasilitas kesehatan.[6] Artinya, untuk melakukan pencatatan data yang berkelanjutan, pasien harus mengakses fasilitas kesehatan yang sama terus menerus. Hal ini tentu saja merepotkan bagi pekerja kesehatan karena pasien umumnya mengakses lebih dari satu fasilitas kesehatan, sehingga pekerja kesehatan tidak dapat mengakses data pasien  secara utuh. 

Apa konsekuensi lain dari rendahnya integrasi data kesehatan di Indonesia? Tentu saja akan timbul masalah terkait kelengkapan data. Data kesehatan masyarakat Indonesia tersebar di berbagai sistem yang ada di Indonesia, seperti SIMPUS, Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS), Kartini (program kesehatan ibu dan anak), EWARS (program surveilans penyakit), Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT), Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA). , dan lain sebagainya.

Sistem-sistem tersebut memiliki standar tersendiri dalam merekam data kesehatan dan demografi masyarakat. Alhasil, banyak data kesehatan masyarakat yang tumpang tindih satu sama lain atau bahkan tidak lengkap karena perbedaan standar dalam merekam data dan minimnya integrasi sistem.[7]

Banyak data kesehatan masyarakat yang tumpang tindih satu sama lain atau tidak lengkap karena perbedaan standar dalam merekam data dan minimnya integrasi sistem.

Integrasi Data Kesehatan

Stunting merupakan kondisi malnutrisi anak yang dapat dicegah selama ibu memiliki informasi terkait kesehatannya dan kesehatan anaknya. Pasalnya, dengan mengetahui kondisi kesehatan tersebut, ibu dapat meningkatkan pengetahuannya tentang pemberian makanan yang tepat untuk bayinya setelah melahirkan, termasuk menyusui dan makanan pendamping ASI.[8] Untuk itu, informasi kesehatan yang komprehensif dan berkala perlu disediakan, khususnya oleh fasilitas kesehatan primer—sebagai fasilitas kesehatan publik yang paling mudah diakses masyarakat dari segala latar belakang ekonomi. 

Mengingat banyaknya hambatan dalam melakukan perekaman data pasien, pemerintah berupaya membangun integrasi dan interoperabilitas antar sistem perekaman data pasien.[9] Salah satunya melalui adalah Indonesia Health Service (IHS). IHS merupakan sebuah platform yang dapat menciptakan ekosistem pencatatan data kesehatan yang baik karena bisa menghubungkan semua aplikasi di industri kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, klinik, apotik, dinas kesehatan, dan lain sebagainya.[10]

Integrasi informasi yang ada di IHS diharapkan mampu memberikan gambaran terkait kesehatan ibu dan anak, khususnya demi pencegahan stunting. Meski demikian, optimalisasi digital terkait data kesehatan hanya bermanfaat bagi keluarga yang melek teknologi. Untuk itu, optimalisasi teknologi harus dibarengi dengan sosialisasi peningkatan kemampuan teknologi masyarakat.

Referensi

[1] World Health Organisation. (2015). Stunting in a nutshell. who.int. https://www.who.int/news/item/19-11-2015-stunting-in-a-nutshell 

[2] Sekretariat Republik Indonesia. (2022). Inilah Upaya Pemerintah Capai Target Prevalensi Stunting 14% di Tahun 2024. setkab.go.id.  https://setkab.go.id/inilah-upaya-pemerintah-capai-target-prevalensi-stunting-14-di-tahun-2024/ 

[3] De Graft-Johnson, J., Kerber, K., Tinker, A., Otchere, S., Narayanan, I., & Shoo, R. (2006). The continuum of care – reaching mothers and babies at the crucial time and place. Opportunities for Africa’s Newborns, 23–36.

[4] Depkes RI. (1997). Pedoman Sistem Informasi Manajemen Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

[5] Kementerian Kesehatan. (2022). Blueprint for Digital Health Transformation Strategy Indonesia. kemkes.go.id.  https://dto.kemkes.go.id/ENG-Blueprint-for-Digital-Health-Transformation-Strategy-Indonesia%202024.pdf 

[6] Wibisono,Setyawan & Munawaroh, Munawaroh. (2012). Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (Simpuskesmas) berbasis Cloud Computing. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK Volume 17, No.2, Juli 2012 : 141-146. ISSN : 0854-9524

[7] Soemitro, Daryo. (2016). Tantangen e-Kesehatan di Indonesia. Buletin Jendela Data dan INformasi Kesehatan. ISSN 2088-270x

[8] Titaley CR, Ariawan I, Hapsari D, Muasyaroh & A, Dibley MJ. (2019) Determinants of the Stunting of Children Under Two Years Old in Indonesia: A Multilevel Analysis of the 2013 Indonesia. Basic Health Survey. Nutrients. 2019 May 18;11(5):1106. doi: 10.3390/nu11051106. PMID: 31109058; PMCID: PMC6567198.

[9] West, J. , Syafiq, A. , Crookston, B. , Bennett, C. , Hasan, M. , Dearden, K. , Linehan, M. , Hall, C. & Torres, S. (2018) Stunting-Related Knowledge: Exploring Sources of and Factors Associated with Accessing Stunting-Related Knowledge among Mothers in Rural Indonesia. Health, 10, 1250-1260. doi: 10.4236/health.2018.109096.

[10] Kementerian Kesehatan. (2022). Indonesia Health Services. kemkes.go.id.  https://dto.kemkes.go.id/ihs-overview 

Health TechSimpusSimPuskesmasStunting

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru