Stunting merupakan kondisi kurang gizi kronis yang ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat sehingga anak balita (di bawah 5 tahun) yang terkena stunting memiliki tubuh yang pendek.[1] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan anak balita menderita stunting bila tinggi badannya dibawah minus 2 Standar Deviasi. Stunting memiliki dampak jangka panjang,anak penderita stunting akan tumbuh secara tidak optimal sampai dewasa sehingga mempengaruhi kesehatan dan kualitas hidup di masa tua.
Lalu, bagaimana keadaan stunting di Indonesia? Pada tahun 2018, 3 dari 10 anak balita di Indonesia mengalami insiden stunting. Persentase ini masih cukup tinggi jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia menempati peringkat kedua dengan jumlah persentase stunting tertinggi, setelah Timor Leste. Selain itu, angka ini juga masih jauh di atas target Indonesia, yaitu sebesar 14 persen.[2] Maka dari itu, penting untuk melakukan penyusunan regulasi, khususnya pada sektor kesehatan, untuk menangani kasus stunting di Indonesia.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, khususnya dalam mengurangi persentase stunting, banyak penelitian menyatakan pentingnya memprioritaskan prinsip kesinambungan perawatan.[3] Artinya, ibu yang memiliki anak disarankan memantau kesehatannya dan juga kesehatan anaknya terus menerus, bahkan sejak anak masih berbentuk janin.
Namun, pelayanan kesehatan primer—fasilitas kesehatan yang paling mudah diakses seperti Pusat Kesehatan Masyarakat Pusat (Puskesmas), dokter umum, dan klinik—umumnya tidak memiliki pencatatan data pasien yang baik, sehingga proses pemantauan kesehatan yang komprehensif tidak dapat berjalan. Lalu, bagaimana cara pemanfaatan teknologi digital secara optimal pada sektor kesehatan di Indonesia?