Ekonomi | Industri dan Startup

Ekonomi Digital: Manfaat atau Mudarat?

Anggita Utomo / Nida 8 Jun 2022. 8 min.

Ekonomi digital merupakan segala aktivitas perekonomian yang melibatkan penggunaan teknologi digital, baik dalam proses produksi, distribusi, maupun konsumsi. Secara spesifik, ekonomi digital juga bisa didefinisikan sebagai penggabungan beberapa teknologi dan berbagai aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi melalui internet atau teknologi terkait internet lainnya.[1] Ekonomi digital mulai tumbuh seiring dengan peningkatan penggunaan internet.

Di Indonesia, sekitar 80% masyarakat telah memiliki akses ke internet dan bertumbuh sebesar 2-5% tiap tahunnya sejak 2019.[2] Maka dari itu, tidak heran jika ekonomi digital terus mengalami pertumbuhan di Indonesia.

Nilai ekonomi digital di Indonesia merupakan nilai yang tertinggi se-Asia Tenggara.[3] Bahkan, taksiran nilainya mencapai angka US$ 70 miliar pada 2021 dan akan terus bertumbuh hingga US$ 146 miliar pada 2025. Untuk mewujudkan proyeksi tersebut, pemerintah telah berupaya untuk membangun kerangka regulasi perwujudan ekonomi digital periode 2021-2030. 

Teknologi Digital Melahirkan Peluang Ekonomi

Ekonomi digital menghadirkan kenyamanan bagi konsumen dan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, akibat ekonomi digital, konsumen dapat memesan dan membeli barang secara daring. Konsumen juga hanya perlu berlangganan platform digital, seperti Spotify atau Netflix, untuk menikmati musik maupun film tanpa perlu lagi membeli produk fisiknya. Selain itu, proses digitalisasi juga membantu konsumen tetap up-to-date dengan menyediakan informasi-informasi terbaru sehingga konsumen dapat membandingkan kualitas dan harga dari berbagai produk. 

Ekonomi digital juga bisa menciptakan efisiensi dan fleksibilitas bagi produsen. Artinya, ekonomi digital dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan peluang inovasi dan proses pengembangan model bisnis baru, sehingga bisa menekan ongkos produksi dan membuat perusahaan semakin adaptif. 

Contohnya adalah dengan menerapkan cloud computing dalam proses produksi. Sebelum adanya cloud computing, perusahaan perlu memiliki komputer dan server tersendiri (on-premise) sebagai pusat penyimpanan data dan pengontrol jalannya berbagai software yang mendukung keberlangsungan bisnis, sehingga perlu biaya besar. Namun, setelah penyedia jasa cloud computing muncul—seperti Salesforce, Workday, dan Dropbox—perusahaan tidak perlu menyediakan komputer dan server on-premise, sehingga dapat menghemat ongkos produksi.

Selain konsumen dan produsen, pemerintah juga dapat diuntungkan oleh keberadaan ekonomi digital melalui munculnya model bisnis baru, seperti sharing economy. Sharing economy adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan dengan memanfaatkan kolaborasi kegiatan memperoleh, memberi, atau berbagi akses barang dan jasa. Umumnya, kegiatan ini dikoordinasikan melalui layanan online berbasis komunitas.[4]

Perusahaan yang memiliki model bisnis semacam ini seperti Grab, Gojek, AirBnB, dan lain sebagainya—memungkinkan individu atau kelompok untuk menghasilkan uang dengan memanfaatkan asetnya. Alhasil, model bisnis seperti ini memiliki potensi untuk meningkatkan peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi.[5]

Tercatat lebih dari 60% masyarakat pedesaan di Indonesia belum memiliki akses internet, padahal hanya sekitar 30% masyarakat perkotaan yang tidak memiliki akses internet.

Tantangan yang Harus Dihadapi

Terlepas dari segala manfaatnya, Indonesia juga menghadapi tantangan terkait ekonomi digital. Salah satu model bisnis ekonomi digital, seperti sharing economy, bersifat cepat menyebar dan disruptif. Artinya, pelaku sharing economy memiliki kesempatan yang besar untuk menarik konsumen dan menguasai pasar dengan cepat.

Alhasil, adaptasi model-model bisnis baru tersebut memiliki potensi konflik dengan model bisnis tradisional, seperti yang terjadi pada pengendara ojek tradisional dan pengendara Gojek.[6] Maka, berbagai reformasi peraturan perlu dilakukan agar aturan yang dirancang tetap dapat mengakomodasi pertumbuhan sharing economy dan tetap melindungi semua hak pelaku ekonomi, baik konsumen, distributor maupun produsen.

Tantangan terbesar lainnya adalah terkait ketimpangan aksesibilitas.[7] Tercatat lebih dari 60% masyarakat pedesaan di Indonesia belum memiliki akses internet, padahal hanya sekitar 30% masyarakat perkotaan yang tidak memiliki akses internet.[8] Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan infrastruktur teknologi. Akibatnya, penerapan ekonomi digital tidak dapat dilakukan secara merata, khususnya di daerah pedesaan dan perkotaan.

Ketimpangan praktik digitalisasi ini juga diperparah dengan adanya ketimpangan keterampilan. Pasalnya, digitalisasi merupakan proses yang bias keterampilan, sehingga penerapannya perlu keterampilan tinggi.

Di sisi lain, teknologi digital telah mengotomatisasi berbagai macam pekerjaan manufaktur dan administrasi yang bersifat manual dan repetitif yang umumnya membutuhkan keterampilan yang rendah.[9] Adanya ketimpangan infrastruktur dan bias keterampilan ini menyebabkan pemanfaatan digitalisasi hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja, sehingga kondisi ketimpangan pendapatan masyarakat menjadi lebih buruk.

Dengan demikian, perlu adanya reformasi regulasi untuk mengatasi tantangan tersebut, seperti membangun infrastruktur dan keterampilan teknologi tingkat dasar di seluruh Indonesia mengingat, para pembuat kebijakan dihadapkan pada skenario di mana pertumbuhan ekonomi dapat meningkat akibat adaptasi digital ekonomi, tetapi dengan distribusi pendapatan dan kekayaan yang semakin terpolarisasi pula.

Referensi

[1] Bala, Madhu., & Verma, Deepak. (2018). A Critical Review of Digital Marketing. International Journal of Management, IT & Engineering. Vol. 8 Issue 10. ISSN: 2249-0558 Impact Factor: 7.119

[2] Pahlevi, Reza (2022). Penetrasi Internet di Kalangan Remaja Tertinggi di Indonesia. katadata.co.id https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/10/penetrasi-internet-di-kalangan-remaja-tertinggi-di-indonesia#:~:text=Asosiasi%20Penyelenggara%20Jasa%20Internet%20Indonesia%20(APJII)%20baru-baru%20ini,kelompok%20usia%2013-18%20tahun

[3] Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2022). Nilai Ekonomi Digital Indonesia USD 70 Miliar, Tertinggi di Asia Tenggara. kemenkeu.go.id https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/nilai-ekonomi-digital-indonesia-usd70-miliar-tertinggi-di-asia-tenggara/#:~:text=“Ekonomi%20digital%20di%20Indonesia%20tertinggi,Senin%20(11%2F04) 

[4] Akande, Adeoluwa., Cabral, Pedro., & Casteleyn, Sven. (2020) Understanding the Sharing Economy and Its Implication on Sustainability in Smart Cities. Journal of Cleaner Production. Volume 277, 2020, 124077. ISSN 0959-6526. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124077 

[5] Bukht, Rumana., & Heeks, Richard. (2017). Defining, Conceptualising and Measuring the Digital Economy. Development Informatics Working Paper no. 68. Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=3431732 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3431732

[6] Cusumano, Michael A. (2015). How Traditional Firms Must Compete in the Sharing Economy. Communications of the ACM Volume 58 Issue 1 PP 32-34. https://doi.org/10.1145/2688487

[7] Dahlmani, Carl., Mealyi, Sam., & Wermelingeri, Martin, (2016). Harnessing the Digital Economy for Developing Countries. OECD Development Centre Working Papers. ISSN: 18151949 (online): https://doi.org/10.1787/18151949

[8] Pusparisa, Yosepha (2021). Bank Dunia: Akses Internet Desa dan Kota Indonesia Masih Timpang

 katadata.co.id https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/bank-dunia-akses-internet-desa-dan-kota-indonesia-masih-timpang 

[9] Autor, David H. (2014). Skills, Education, and the Rise of Earnings Inequality Among the ‘Other 99 Percent’, Science, Vol. 344/6186, May, pp. 843-851, doi: 10.1126/science.1251868 

Bagikan artikel ini:

← Kembali ke semua artikel

Artikel Terbaru