Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Pusat Data di Indonesia
Indonesia merupakan pasar pusat data ketiga tersebar di Asia Tenggara, setelah Singapura dan Malaysia.[3] Di Indonesia, sudah terdapat setidaknya 53 pusat data[4]. Untuk ke depannya, Indonesia akan dihadapkan dengan pertumbuhan dan pengembangan pusat data yang lebih masif.
Bahkan, diperkirakan total nilai investasi untuk mempersiapkan peralatan dan perlengkapan dalam pembangunan pusat data pada tahun 2020 akan mengalami pertumbuhan yang signifikan jika dibandingkan dengan perkiraan nilai investasi tahun sebelumnya (khususnya tahun 2016).[5] Hal ini tentu saja merupakan kabar yang baik bagi industri teknologi, khususnya industri pusat data, karena ekspektasi tersebut berpotensi mengundang banyak investor, sehingga pertumbuhan teknologi pusat data dapat mengikuti kebutuhan dan pertumbuhan nilai investasi.
Optimisme ini juga didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian tersebut pernah memperkirakan pertumbuhan pasar pusat data Indonesia sebesar 20% per tahun pada periode 2015 hingga 2017 dan tahun-tahun berikutnya.[6]
Selain itu, tidak seperti banyak negara yang melakukan kontrol ketat atas pembangunan pusat data, Indonesia mengizinkan pemilik tanah untuk membangun fasilitas tersebut untuk mendukung penggunaan mereka sendiri.[7] Karena kesempatan-kesempatan ini, pembangunan pusat data, sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas tulang punggung aktivitas daring, harus lebih memperhatikan beberapa tantangan, khususnya tantangan terkait aspek digital. Apa aspek-aspek digital tersebut?
Pertama adalah terkait daya dan konektivitas. Tantangan utama terhambatnya digitalisasi, khususnya terkait pembangunan pusat data, disebabkan oleh kurangnya infrastruktur jaringan dan pasokan listrik yang tidak stabil. Alhasil, imbal balik atau manfaat yang diharapkan dari penyediaan pusat data bisa tidak sesuai (terlalu sedikit). Penyediaan infrastruktur ini bergantung pada pemerintah.
Terdapat studi yang membandingkan pasokan listrik dan infrastruktur jaringan di Indonesia dan Malaysia.[8] Perbedaan antara kedua negara tersebut adalah sumber dana. Penelitian itu mengatakan bahwa pemerintah Malaysia, dengan perusahaan telekomunikasi Malaysia yang diprivatisasi, akan bekerja sama untuk membiayai pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan yang umumnya tidak layak dan tertinggal. Namun, di Indonesia, perusahaan telekomunikasinya diprivatisasi dan mayoritas adalah milik negara. Artinya, pembiayaan harus mengandalkan sumber dayanya sendiri untuk membangun sumber daya jaringan.
Selain keterbatasan infrastruktur saat ini, ada juga masalah terkait kurangnya tenaga kerja, khususnya tenaga kerja teknis di Indonesia. Adanya defisit keterampilan terkait data menyebabkan banyak perusahaan harus menyewa tenaga ahli secara outsource.
Padahal di sisi lain, survei DCI (Data Center Indonesia) menunjukkan lebih dari 70% perusahaan sebenarnya lebih suka memiliki pusat data internal daripada menggunakan layanan outsource.[9] Perusahaan-perusahaan ini memiliki kekhawatiran seperti kurangnya keamanan, kepercayaan, kinerja dan ketersediaan sebagai alasan untuk tidak “berlangganan” produk dari penyedia layanan. Keahlian terkait data sangat langka di Indonesia, terlepas dari permintaannya yang begitu besar. Alhasil, tenaga ahli data hanya tersebar di perusahaan-perusahaan yang sangat besar dan mampu membayar dengan harga sangat tinggi.