Investasi Pemerintah dan Swasta dalam EdTech
Seluruh manfaat yang dihasilkan EdTech tampaknya telah disadari pemerintah dan pihak swasta sehingga keduanya sedang melakukan investasi di sektor tersebut. Pemerintah melalui Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusdatin) memiliki fungsi untuk mendayagunakan dan mengembangkan teknologi informasi dalam bidang pendidikan.
Produk buatan Pusdatin yang dapat dikategorikan sebagai EdTech meliputi Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) dan belajar.id yang menyediakan layanan administrasi daring; Aplikasi merdeka mengajar yang menyediakan layanan manajemen kelas bagi pengajar; Rumah Belajar yang menyediakan konten pembelajaran elektronik mandiri; dan Buku Sekolah Elektronik (BSE). Seluruhnya bisa diakses secara gratis oleh pegawai negeri Kemdikbud dan pelajar.
Di pihak swasta, investasi di sektor ini juga sedang mengalami perkembangan pesat. Dari tahun tahun 2012-2018, setiap tahunnya setidaknya ada 10 perusahaan EdTech yang lahir. Sebagian besar perusahaan EdTech yang ada menawarkan Sistem Manajemen Pembelajaran Daring (SMPD) (30%), konten pembelajaran daring (27%), dan pengembangan kemampuan vokasional (25%).[5]
Contoh dari EdTech yang menyediakan SMPD adalah Quintal, SIKAD, dan Pinteraktif. Kemudian, EdTech yang menyediakan konten pembelajaran daring dapat ditemukan di Zenius, Quipper, dan Ruang Guru. Terakhir, penyedia jasa pengembangan kemampuan vokasional adalah Harukaedu, Arkademi, dan Akademi CIPS. Selain tiga bidang tadi, EdTech di Indonesia juga turut menyediakan jasa lapangan pasar untuk kegiatan pendidikan, penyimpanan materi ajar sekolah, pinjaman biaya pendidikan, perangkat keras untuk pendidikan, dan lain-lain.
Meskipun baik pemerintah maupun swasta sama-sama memiliki produk EdTech-nya sendiri-sendiri, kerja sama di antara keduanya bukan berarti tidak mungkin terjadi. 22% dari EdTech yang disurvei Bank Dunia menyatakan bahwa kerja sama mereka dengan pemerintah dilakukan ketika produk masih dalam bentuk ide, 14,8% EdTech menjadikan pemerintah sebagai rekan untuk mendiseminasikan produk mereka maupun menawarkan pemerintah untuk menjadi pelanggan mereka. Selain tiga bentuk interaksi tadi, perusahaan EdTech swasta juga berinteraksi dengan pemerintah agar mendapatkan akreditasi. [6]
Tantangan dan Peluang Investasi EdTech di Indonesia
Investasi EdTech di Indonesia pada akhirnya tetap memiliki beberapa tantangan yang perlu ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan. Ravenry dan Innovation Factory mengidentifikasi empat tantangan industri EdTech Indonesia. Tantangan pertama adalah rendahnya angka guru terampil. 53% guru di Indonesia merupakan pengajar yang tidak tersertifikasi sehingga mempengaruhi kualitas belajar-mengajar. Kurangnya tenaga pendidik terlatih tentu berpengaruh terhadap kualitas konten yang dihasilkan perusahaan EdTech yang menggunakan tenaga kerja guru-guru tersebut.
Tantangan kedua adalah rendahnya adopsi teknologi baik di institusi pendidikan maupun para tenaga pendidik. 60% guru di Indonesia mengaku tidak memiliki kecakapan dalam mengoperasikan teknologi informasi. Tingginya angka gagap teknologi di kalangan pengajar ini memiliki keterkaitan erat dengan rendahnya kualitas infrastruktur fisik di sekolah-sekolah di Indonesia.
Tantangan ketiga adalah tingginya jumlah orang tanpa akun bank—sebesar 66% dari total populasi—sehingga tentunya berpengaruh terhadap kemudahan monetisasi dari perusahaan EdTech. Tantangan keempat adalah rendahnya pemahaman mengenai kemampuan apa yang diperlukan oleh tenaga kerja sehingga semakin menambah beban kerja perusahaan EdTech yang perlu melakukan riset. [7]
Meskipun investasi EdTech di Indonesia memiliki banyak tantangan, investasi di sektor ini tetap melahirkan beberapa peluang. Peluang pertama adalah ketimpangan akses internet di Indonesia sehingga pelaku EdTech dapat hadir untuk memberikan solusi. Hal ini sudah dilakukan oleh Zenius.net yang mendistribusikan cakram padat berisi 80 ribu video pembelajaran ke wilayah-wilayah pedesaan.
Peluang kedua adalah tingginya permintaan jasa pelatihan kecakapan digital bagi para guru. Quipper sudah melihat potensi ini sehingga sampai dengan sekarang perusahaan EdTech tersebut sudah melakukan pelatihan untuk 15 ribu guru. Peluang ketiga adalah tingginya jumlah calon konsumen berupa banyaknya siswa pengguna telepon genggam.
Peluang keempat adalah tingginya komitmen pemerintah terhadap pendidikan sehingga pendanaan akan lebih mudah didapat selama nilai inti dari perusahaan EdTech sejalan dengan visi-misi pemerintah. Terakhir, segmen pasar non-pendidikan formal masih belum memiliki banyak pesaing. Udemy telah menyadari peluang ini dengan mereka memfokuskan konten yang mereka produksi untuk meningkatkan kemampuan dalam kehidupan sehari-hari. [8]